BPOM Bongkar Stem Cell Ilegal di Magelang, Pelaku Dokter Hewan-Dosen di Yogyakarta

7 hours ago 4
Jakarta -

Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (BPOM) menemukan sarana peredaran produk biologi ilegal yang merupakan turunan dari sel punca atau stem cell, yaitu sekretom di Magelang, Jawa Tengah. Produk ini didefinisikan sebagai keseluruhan bahan yang dilepaskan oleh sel punca, mencakup mikrovesikel, eksosom, protein, sitokin, zat mirip hormon (hormone-like substances), dan zat imunomodulator.

Adapun klaim dari produk tersebut seperti mencegah kanker, meningkatkan stamina, hingga awet muda. Padahal, Kepala BPOM RI Taruna Ikrar mengatakan klaim manfaat seperti itu harus melalui rangkaian uji klinis terstandar. Terlebih, klinik tersebut tidak memiliki landasan ilmiah terhadap klaim tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Macam-macam indikasinya, ada yang untuk mencegah kanker, ini penyakit yang sangat susah diobati. Ada yang bisa meningkatkan stamina, itu janji yang diberikan. Ada juga ya untuk regenerasi awet muda, ada juga yang berhubungan dengan berbagai penyakit-penyakit yang susah diobati, itu pengiklanan yang disampaikan," ujar Prof Taruna dalam konferensi pers, Rabu (27/8/2025).

"Itu membutuhkan uji praklinis dan uji klinis itu membuktikan bahwa obat itu bisa, berfungsi sebagai itu. Itu disebut indikasi. Tapi ini dipromosikan tanpa ada uji-uji sebelumnya. Tidak ada ukuran efikasi atau khasiatnya, kasian rakyat kita," tandasnya.

Tak hanya itu, produk ilegal yang dihasilkan juga lebih rentan terkontaminasi yang tentu berbahaya bagi kesehatan pasien.

"Apa dampaknya? Nah, mungkin produknya bisa terkontaminasi bakteri, virus, karena kan tidak bersih atau tidak sesuai standar. Kalau produk ini memiliki kontaminasi, pada saat disuntikkan, apakah secara intramuskular, apalagi intravena, pasien itu bisa langsung menderita sepsis," ujar Ikrar.

"Atau bahasanya virus atau kuman tumbuh kembang dalam tubuh, risikonya itu kematian pasien. Kan berat, atau minimal gagal ginjal, gagal jantung, liver bermasalah. Banyak dampak yang lainnya. Bukan hanya kecacatan tapi bisa kematian," sambungnya.

Lebih lanjut, penindakan di sarana tersebut berawal dari laporan masyarakat mengenai dugaan praktik pengobatan ilegal oleh dokter hewan yang dilakukan terhadap pasien manusia. Praktik pengobatan ini menggunakan produk sekretom ilegal yang disuntikkan secara intra muscullar seperti pada bagian lengan.

Sarana ilegal tersebut berada di tengah pemukiman padat penduduk serta melayani terapi/pengobatan kepada pasien yang sebagian besar merupakan pasien manusia. Sarana ini dikamuflasekan dengan mencantumkan papan nama berupa Praktik Dokter Hewan.

Dari hasil pengecekan dan pendalaman PPNS BPOM, diketahui sarana hanya memiliki perizinan untuk praktik dokter hewan. Pemilik sarana berinisial YHF (56 tahun) yang berprofesi sebagai dokter hewan tidak memiliki kewenangan untuk memberikan terapi/pengobatan kepada pasien manusia.

Produk sekretom yang digunakan sebagai terapi bagi pasien dibuat sendiri oleh dokter hewan tersebut dan belum memiliki nomor izin edar (NIE) BPOM. Produksi produk sekretom ilegal diduga dilakukan menggunakan fasilitas laboratorium di sebuah universitas di Yogyakarta. Pelaku juga merupakan staf pengajar dan peneliti di universitas tersebut.

Keseluruhan barang bukti produk sekretom ilegal yang ditemukan telah dilakukan penyitaan oleh PPNS BPOM. Barang bukti tersebut disimpan di gudang barang bukti Balai Besar POM (BBPOM) di Yogyakarta untuk menjaga kestabilan produk selama proses penyidikan. Petugas juga telah menetapkan pemilik sarana YHF sebagai tersangka serta mengambil keterangan dari 12 orang saksi untuk keperluan penyidikan lebih lanjut.

Tindakan mengedarkan produk sekretom ilegal ini diduga melanggar tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 435 jo. Pasal 138 ayat (2) serta Pasal 436 ayat (1) jo. Pasal 145 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Pelaku usaha yang memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu dapat dikenai sanksi pidana penjara paling lama 12 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 5 miliar.

Kemudian pelaku yang melakukan pekerjaan kefarmasian tanpa keahlian dan kewenangan juga dapat dikenai pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 200 juta.

"BPOM berkomitmen untuk terus memperkuat pengawasan demi melindungi kesehatan masyarakat. BPOM mengajak peran aktif dari semua pemangku kepentingan, baik kementerian/lembaga, pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat untuk mendukung upaya pemberantasan peredaran sediaan farmasi ilegal secara optimal," ujar Ikrar.

"Risiko produk ilegal tidak hanya membahayakan kesehatan masyarakat penggunanya, namun berpotensi merugikan perekonomian negara dan menurunkan daya saing produk biologi dalam negeri," lanjutnya.

(suc/up)


Read Entire Article