Tegang di Perbatasan Israel, Tersentuh di Aqsha, Disambut Senyum Yordania

2 months ago 9
Dokumentasi di Bukit Sinai sebelum berziarah ke makam nabi Harun dan Nabi Shaleh. (foto: Abdul Malik Syafi'i)

Usai Field Studi di Mesir selama 5 hari, rombongan KKL PDIH Unissula Semarang melanjutkan perjalanan ke Masjidil Aqsha. Dari Kairo menuju Yerusalem, rombongan harus melewati gurun, pos imigrasi bersenjata, hingga menghadapi ketegangan yang tak logis di Imigrasi.

------------------------------------------------------------------------------------------------

Jarak dari Kairo ke perbatasan Taba di Sinai Selatan membentang sejauh 440 km. Karena waktu tempuh mencapai 9 jam, perjalanan dibagi menjadi dua hari, dengan rute melewati situs-situs penting seperti Mata Air Nabi Musa, Makam Nabi Harun dan Nabi Saleh, serta patung Sapi Samiri di Bukit Sinai.

"Apakah itu patung Samiri sesungguhnya, ini belum terbukti ilmiah. Hanya cerita masyarakat saja," kata Ahmed pemandu lokal saat ditanya peserta.

Di pantai Laut Merah, rombongan sempat berhenti. Air biru jernih di Terusan Suez yang dulunya terbelah oleh tongkat Nabi Musa menjadi latar renungan spiritual. Sesaat sebelum senja, rombongan bermalam di Nuweiba, kota tenang di tepi Teluk Aqaba. Dua peserta tidak bisa melanjutkan ke Israel karena tidak memperoleh izin masuk tanpa alasan yang jelas dan langsung menunggu di Yordania.

"Padahal kita mau ziarah Aqsho," sesal salah satu peserta.

Fajar belum merekah saat rombongan bersiap meninggalkan Mesir melalui perbatasan Taba. Tour leader memberi peringatan tegas: jangan ambil gambar, jangan aktifkan kamera, dan jangan bercanda. Benar saja, begitu memasuki imigrasi Israel, satu per satu peserta diminta membuka koper, bahkan beberapa diminta menyerahkan ponsel untuk dianalisis.

Penulis termasuk yang tertahan, tanpa penjelasan, hanya ditemani tatapan curiga dan percakapan petugas dalam bahasa yang asing.

Entah apa yang mereka obrolkan menggunakan bahasa lokal, bukan bahasa Arab juga bukan Inggris.

"Indonesia dan Israil memang tidak ada hubungan diplomatik," celetuk seorang peserta yang ikut antrean paspor.

Lolos dari imigrasi, bus telah menanti. Di luar jendela, terlihat pos militer dan tentara bersenjata lengkap berdiri di atas bukit, mengawasi dengan waspada. Bendera putih dengan bintang biru mengepak tertiup angin. “Tegang,” satu kata yang mencerminkan atmosfer saat memasuki wilayah itu.

Di dalam bus, pemandu baru menyambut. Ia adalah warga Yerusalem, fasih berbahasa Indonesia, dan memegang paspor Kerajaan Yordania. Ammu, begetu penulis memanggilnya menjelaskan tentang kondisi sosial-politik di wilayah yang terus bergolak ini—hubungan antara Israel dan warga Palestina, dan betapa kerasnya realitas yang harus mereka hadapi tiap hari.

“Jarak menuju Yerusalem sekitar 320 km, kira-kira tiga jam perjalanan. Jika ingin istirahat, silakan,” ujarnya dengan ramah.

Sebelum ke Yerusalem, rombongan mampir ke jerucho ziarah makam nabi Musa dan singgah di bukit Pencobaan (Mount of Temptation) di dekat Jericho tempat di mana diyakini al masih berpuasa 40 hari 40 malam sebelum mendapatkan wahyu dan melayani ummat.

Di kedua tempat itu menjadi otoritas negara Palestina, sehingga banyak bendera dan suvenir di jual di daerah tersebut oleh pedagang berlogat arab menggunakan bahasa Indonesia sebisanya.

Menjelang matahari terbenam, Bus melaju ke kota Yerusalem atau juga dikenal dengan Al-Quds, salah satu kota tertua di dunia, terletak di sebuah dataran tinggi di Pegunungan Yudea antara Laut Tengah dan Laut Mati.