
Melonjaknya penggunaan smartphone telah membuat media sosial semakin lekat dengan kehidupan sehari-sehari. Tanpa disadari, media sosial dengan begitu pesat telah menggeser keberadaan media-media konvensional yang semula menjadi ruang utama bagi seseorang untuk mengakses informasi. Kini, hampir semua informasi bisa dengan mudah ditemukan hanya dengan menggulir layar (scrolling). Dimulai dari hiburan, gosip selebriti, isu politik, dan informasi seputar kesehatan, semua dapat dengan mudah diperoleh melalui media sosial.
Adanya jumlah pengguna aktif media sosial yang terus bertambah mendorong sejumlah klinik untuk ikut mengambil kesempatan dalam arus digital ini. Sebagai penyedia jasa pelayanan kesehatan, para pemilik klinik melihat media sosial sebagai sarana strategis untuk menjangkau masyarakat luas. Dengan visual yang menarik dan pendekatan yang terbilang personal, promosi jasa pelayanan kesehatan kini dikemas agar terasa lebih dekat dan mudah dijangkau. Melalui unggahan foto, video singkat, hingga testimoni pasien, mereka membangun citra positif di mata para pengguna media sosial.
Salah satu bentuk promosi yang banyak dijumpai dan cukup menarik perhatian masyarakat adalah penawaran "fixed orthodontic treatment" atau umum dikenal dengan “perawatan behel”. Sudah menjadi hal yang umum bahwa akhir-akhir ini banyak klinik yang dimiliki oleh perorangan gencar mempromosikan paket perawatan behel dengan harga miring di media sosial. Melalui visual konten yang memanjakan mata dan gaya bahasa persuasif, pemasaran semacam ini diharapkan dapat menarik minat masyarakat.

Semisal, sebuah klinik memberikan penawaran bahwa dengan harga Rp. 3.500.000 dari harga normal senilai Rp. 9.500.000 sudah bisa mendapatkan perawatan behel. Untuk semakin memancing rasa penasaran calon pasien, disematkan juga foto model cantik dengan senyumnya yang sumringah dan foto before-after perawatan behel yang seolah menunjukkan kualitas hasil perawatan yang ditawarkan. Tidak ketinggalan juga berbagai testimoni bernada positif yang membanjiri kolom komentar yang tentu akan semakin memperkuat daya tarik penawaran ini.
Penawaran sejenis akan dianggap sebagai peluang emas bagi beberapa orang, khususnya kalangan muda. Bagi mereka yang memang memiliki gangguan susunan gigi geligi, promosi ini tentu akan menjadi harapan untuk bisa memperbaiki penampilan dengan harga yang bersahabat. Namun, ada juga beberapa orang yang meskipun tidak memiliki keluhan atau gangguan sekalipun tetap merasa perlu memakai behel agar dianggap gaul. Maka, promosi ini akan menjadi semacam jalan bagi mereka untuk bisa tampil gaya tanpa harus merogoh kocek lebih dalam.
Sekilas, penawaran semacam ini memang tampak menggiurkan, terlebih bagi mereka yang selama ini menganggap perawatan behel sebagai hal yang mewah. Namun, di balik harga yang terkesan ramah di kantong, penting kiranya untuk mengkritisi lebih jauh mengenai kebenaran isi promosi ini. Untuk menganalisis kebenarannya, kita bisa meminjam tiga teori kebenaran, yaitu korespondensi, koherensi, dan pragmatis. Meskipun berakar dari filsafat ilmu, tiga teori ini sangat relevan dan cukup mudah untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk ketika dihadapkan dengan promosi pelayanan kesehatan.
Pertama, kita akan menilai isi promosi dari sudut pandang teori kebenaran korespondensi. Dalam buku “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, Jujun S. Suriasumantri menjelaskan bahwa menurut teori korespondensi ini klaim kebenaran dari sebuah pernyataan harus sesuai dengan kenyataannya. Oleh karena itu, saat melihat promosi behel dengan harga yang sangat murah, kita perlu mempertanyakan apakah harga itu sudah mencakup pemeriksaan awal, rangkaian perawatan untuk persiapan rongga mulut (mouth preparation), pencetakan rahang atas-bawah, hingga pemasangan behel. Sebab, bisa saja nantinya kita akan dibebankan biaya tambahan dengan berbagai dalih. Selain itu, siapa yang akan menangani perawatan juga perlu dicermati. Idealnya, perawatan behel pada pasien dewasa ditangani oleh dokter gigi spesialis ortodontik, terlebih untuk kasus yang berat. Sementara itu, dokter gigi umum seharusnya hanya menangani kasus yang ringan. Pertanyaannya, mampukah kita sebagai calon pasien membedakan mana kasus yang ringan atau berat?
Kita juga perlu mengkritisi kebenaran dari foto before-after yang ditampilkan dan testimoni positif pada kolom komentar. Terkait foto before-after, perlu dipertanyakan apakah foto ini benar-benar berasal dari pasien yang dirawat di klinik itu atau hanya ilustrasi komersial belaka? Di era kecerdasan buatan (artificial intelligence) seperti saat ini, tentu bukan hal yang sulit untuk melakukan image generate foto before-after perawatan behel guna menarik perhatian calon pasien. Selain itu, banyaknya testimoni positif juga belum tentu menjadi jaminan bahwa pelayanan di klinik itu memang benar-benar berkualitas. Hal ini mengingat bahwa buzzer bayaran bisa saja digunakan meningkatkan citra positif dari sebuah bisnis.
Untuk menghindari jebakan promosi yang menyesatkan, langkah praktis yang bisa kita lakukan adalah menghubungi customer service klinik. Harapannya agar dapat memperoleh kejelasan mengenai detail pelayanan yang ditawarkan. Apabila jawaban yang diberikan tidak memberikan kejelasan, maka kebenaran isinya bisa diragukan menurut perspektif teori korespondensi.
Kedua, kita akan mencoba mengkaji promosi behel ini dengan teori kebenaran koherensi. Ahmad Jamin dan Norman Ohira dalam buku “Filsafat Ilmu: Telaah Pengetahuan, Ilmu, dan Sain Dalam Studi Islam” menyatakan bahwa menurut teori koherensi suatu pernyataan baru dianggap benar ketika koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Dalam konteks promosi diskon behel ini, semua elemen yang mencakup klaim “harga miring”, visual model cantik yang tengah tersenyum, hingga foto before-after membangun pesan yang begitu meyakinkan. Tidak ada kontradiksi di antara elemen-elemen itu. Pernyataan dan visual yang disajikan seolah mendukung suatu ide bahwa perawatan behel adalah sesuatu yang mudah, terjangkau, dan hasilnya pasti akan memuaskan. Narasi yang koheren ini akan menciptakan kredibilitas yang baik dan tentunya menarik di mata konsumen.
Meskipun terlihat terstruktur dan meyakinkan, isi promosi ini belum tentu sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Dalam bukunya, “Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer”, Zaprulkhan menjelaskan bahwa beberapa pernyataan bisa saja saling mendukung dan tampak masuk akal, tetapi belum tentu sesuai dengan kenyataan. Begitu pula pada konteks promosi behel dengan harga miring ini, meskipun narasi dan visual tampak serasi, kita tetap perlu mempertanyakan apakah isinya merefleksikan apa yang akan didapatkan oleh calon pasien ketika memutuskan untuk menjalani perawatan behel yang ditawarkan? Rangkaian informasi yang tampak selaras justru bisa menutupi kompleksitas sebuah pelayanan kesehatan, sehingga akan mengesankan bahwa perawatan behel yang rumit itu adalah pelayanan instan yang bisa dengan mudahnya didiskon. Tanpa adanya kejelasan informasi mengenai kenyataan dari apa yang ditawarkan, muatan promosi yang seolah tampak benar secara koheren ini bisa saja menyesatkan. Dengan kata lain, promosi yang benar dari sisi narasi, belum tentu benar dari segi isi.
Terakhir, kita akan menganalisis isi promosi ini dengan teori kebenaran pragmatis. Arifin dalam buku “Pengantar Memahami Filsafat Ilmu & Dasar Logika” menyebutkan bahwa kebenaran dari suatu pernyataan menurut teori kebenaran pragmatis didasarkan pada ada atau tidaknya kemanfaatan secara praktis. Dalam konteks promosi behel murah ini, klaim harga Rp. 3.500.000 akan terasa masuk akal dan menarik bagi calon pasien. Bagi pihak klinik promosi ini jelas efektif dari segi bisnis, karena memancing perhatian, menambah pasien, dan mendongkrak pendapatan. Dari sudut pandang pragmatis, promosi bisa dikatakan berhasil ketika menimbulkan dorongan aksi nyata dimana calon pasien pada akhirnya berbondong-bondong datang untuk memilih perawatan behel yang ditawarkan.
Namun, keberhasilan secara komersial belum tentu sejalan dengan kemanfaatan praktis bagi kita sebagai pasien. Apabila ternyata harga yang ditawarkan belum mencakup keseluruhan perawatan atau jika ternyata hasilnya tidak sesuai dengan ekspektasi pasien karena tidak ditangani oleh dokter gigi yang berkompeten, maka manfaat yang dijanjikan bisa berubah menjadi kekecewaan. Pada kondisi tersebut, jelas klaim promosi justru gagal secara pragmatis, karena tidak memberikan nilai kemanfaatan nyata bagi pasien. Oleh karena itu, parameter kebenaran dalam teori kebenaran pragmatis ini tidak cukup hanya diukur dari berapa banyak keuntungan yang diraup oleh klinik, tetapi juga berapa banyak pasien mendapatkan manfaat tanpa perlu dirugikan.
Pada akhirnya, promosi pelayanan kesehatan seperti penawaran perawatan behel dengan harga miring bisa tampak menggiurkan. Namun, di balik semua itu, selalu ada kemungkinan bahwa informasi yang disampaikan tidak sepenuhnya mencerminkan kenyataan. Dengan memahami dan menerapkan tiga teori kebenaran ini, kita tidak akan menelan mentah-mentah setiap klaim yang bermunculan di layar ponsel pintar kita. Terlebih ketika hal itu menyangkut kesehatan tubuh, kita perlu benar-benar menelaahnya secara kritis.
Sebagai calon pasien sekal...