Mengapa Indonesia Lebih Kejam daripada Alabasta di One Piece

13 hours ago 7

Image Yusmiati S.Si., M.Si.

Politik | 2025-09-08 10:46:03

Di dunia fiksi One Piece, penderitaan rakyat Alabasta memang digambarkan memilukan. Kekeringan panjang melanda negeri gurun itu, karena ulah Crocodile yang sengaja memanipulasi krisis demi merebut tahta. Namun, jika kita menengok ke dunia nyata, khususnya Indonesia, sering kali kenyataan jauh lebih kejam daripada fiksi. Di negeri ini, penderitaan rakyat tidak hanya berupa kekeringan atau propaganda, tetapi berlanjut pada penghancuran ruang hidup, pelanggaran HAM, bahkan jatuhnya korban nyawa.

Nyawa yang Hilang Nyata, Bukan Karakter Fiksi

Di Alabasta, meski penderitaan rakyat digambarkan berat, kematian massal tidak ditunjukkan secara gamblang. Penderitaan masih bisa ditutup dengan akhir yang bahagia setelah Luffy mengalahkan Crocodile.

Berbeda dengan Indonesia, di mana penderitaan rakyat berwujud nyata dalam kehilangan nyawa. Proyek Waduk Nipah, misalnya, menelan empat korban jiwa yang ditembak aparat hanya karena mempertahankan tanah leluhur mereka (Wikipedia). Nyawa yang hilang bukan sekadar drama fiksi, melainkan duka permanen bagi keluarga yang ditinggalkan.

Kehilangan Rumah Tanpa Kepastian Masa Depan

Di Alabasta, setelah Crocodile dikalahkan, kehidupan rakyat perlahan membaik. Mereka kembali menata kehidupan dengan harapan baru.

Namun di Indonesia, ribuan warga Jatigede justru kehilangan rumah dan tanah akibat proyek waduk. Mereka hanya menerima kompensasi Rp29 juta—jumlah yang bahkan tak cukup untuk membeli rumah sederhana (BBC Indonesia). Setelah itu, mereka dibiarkan berjuang sendiri. Tidak ada sosok “pahlawan” yang datang mengembalikan harapan mereka.

Kekuasaan yang Berulang, Bukan Sekali Saja

Crocodile hanyalah satu penjahat. Begitu ia dikalahkan, negeri Alabasta terbebas dari penderitaan yang ia ciptakan.

Indonesia tidak seberuntung itu. Pola perampasan lahan, manipulasi proyek, dan eksploitasi sumber daya terus berulang dengan wajah-wajah baru. Dari Rempang, Kulon Progo, hingga Kendeng, modusnya sama: rakyat dikorbankan, tanah diambil alih, demi kepentingan segelintir orang. Tidak ada akhir cerita yang bahagia—hanya bab baru dari siklus penindasan.

Kekejaman yang Dilegalkan

Dalam dunia fiksi, kejahatan Crocodile jelas-jelas ilegal. Ia musuh yang harus ditumpas.

Di Indonesia, kekejaman sering dilegalkan. Penggusuran dan perampasan tanah justru dilindungi dengan dasar hukum—Perpres, izin usaha, atau peraturan teknis lain. Rakyat yang mempertahankan hak hidupnya sering dicap melawan hukum. Aparat turun tangan bukan untuk melindungi, melainkan menekan.

Lebih Sunyi, Lebih Sistematis, Lebih Lama

Jika rakyat Alabasta masih beruntung karena ada Luffy dan kawan-kawan yang membongkar dalang di balik penderitaan mereka, rakyat Indonesia kerap dibiarkan berjuang sendiri. Lawan mereka bukan hanya individu serakah, tetapi sistem yang sah secara hukum namun zalim secara moral. Kekejaman di sini lebih sunyi, lebih sistematis, dan lebih lama—karena bukan berhenti pada satu tokoh jahat, melainkan dijalankan oleh kekuasaan yang terus berganti tapi membawa pola yang sama.

Solusi Krisis Air dalam Pandangan Islam

Di tengah kegelapan ini, Islam sebenarnya menawarkan prinsip yang adil dan manusiawi. Air, dalam pandangan Islam, adalah hak publik (haqqul ‘ammah) yang tidak boleh dimonopoli. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Manusia itu berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah)

Hadis ini menegaskan bahwa air adalah milik bersama, bukan komoditas segelintir orang. Dari prinsip ini, lahir beberapa solusi fundamental:

  1. Air sebagai Kepemilikan Umum Sumber air—sungai, waduk, mata air—harus dikelola negara untuk kepentingan rakyat. Negara tidak boleh menyerahkannya pada swasta atau asing yang hanya mengejar keuntungan.
  2. Distribusi yang Adil dan Merata Pemerintah wajib memastikan semua rakyat, terutama di daerah rawan kekeringan, mendapat akses air bersih. Rasulullah ﷺ mencontohkan pembagian air secara proporsional, tanpa diskriminasi.
  3. Larangan Eksploitasi dan Penyalahgunaan Al-Qur’an mengingatkan: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya...” (QS. Al-A’raf: 56) Artinya, merusak sumber air atau mengeksploitasinya hingga mencederai lingkungan adalah kezaliman yang dilarang.
  4. Pengelolaan Amanah dan Transparan Penguasa yang diberi mandat harus jujur dan terbuka, bukan seperti “Crocodile” yang memanipulasi rakyat demi kepentingan pribadi.
  5. Penegakan Hukum Tegas Islam memberikan sanksi kepada mereka yang menimbun atau menghalangi distribusi air. Dalam fiqih, tindakan ini bisa dihukum sesuai kaidah ta’zir karena membahayakan kemaslahatan umum.

Penutup: Mencegah “Crocodile” Dunia Nyata

Jika prinsip Islam ini diterapkan, krisis air dan perampasan lahan seperti di Jatigede, Nipah, atau Rempang tidak akan terjadi. Air bukan lagi alat kekuasaan atau komoditas politik, melainkan amanah Allah untuk memakmurkan manusia.

Bedanya dengan Alabasta, rakyat Indonesia tidak butuh Luffy, tapi butuh sistem yang adil—sistem yang memastikan sumber daya vital dikelola untuk seluruh rakyat, bukan untuk kepentingan elit. Dalam konteks ini, Islam bukan sekadar menawarkan solusi teknis, melainkan juga struktur politik dan moral yang mencegah lahirnya “Crocodile” di dunia nyata.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article