KPKKI Sampaikan Amicus Curiae Uji Materi UU Kesehatan ke MK

6 hours ago 3

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Komunitas Peduli Kebijakan Kesehatan Indonesia (KPKKI), bersama dengan sejumlah akademisi dan praktisi kesehatan, menyampaikan Amicus Curiae kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. Mereka berpendapat, undang-undang memungkinkan industrialisasi dan komersialisasi layanan kesehatan.

Dalam konferensi pers yang diadakan di Cafe Podocarpus, UGM, Senin (8/9/2025), KPKKI menyatakan bahwa UU Kesehatan mengandung banyak masalah penting. Ini termasuk fokus rumah sakit pada target pendapatan, lemahnya independensi organisasi profesi, dan penurunan standar pendidikan dokter spesialis.

“Undang-undang ini berpotensi menggeser misi kemanusiaan menjadi misi komersialisasi. Ujungnya adalah pelanggaran hak konstitusional rakyat untuk mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas," kata Ketua KPKKI, Prof Wahyudi Kumorotomo.

Ia menyebut, di sejumlah rumah sakit vertikal di bawah Kementerian Kesehatan, dokter dipaksa untuk mengejar target pendapatan. “Misalnya, di RSUP Dr. Sardjito, dokter ditargetkan Rp 1,6 triliun per tahun. Evaluasi kinerja pun berbasis pendapatan, bukan kualitas layanan,” ujarnya.

“Dokter itu harus fokus mengurangi penderitaan pasien. Dengan target pendapatan, profesi yang mulia ini jadi tertekan oleh kepentingan bisnis,” ucap Wahyudi. Menurutnya, sistem ini memaksa dokter melanggar kode etik profesi mereka.

Lebih lanjut, Wahyudi menilai independensi kolegium kedokteran dan organisasi profesi juga menjadi persoalan. “Kolegium yang seharusnya diisi para ahli kini justru ditarik ke Kementerian Kesehatan. Hal ini membuka peluang campur tangan, bahkan bisa terjadi pilih kasih dalam penempatan dokter,” ujarnya.

Selain itu, KPKKI juga menekankan pergeseran cara pendidikan dokter spesialis yang kini sebagian besar berbasis rumah sakit (hospital-based training).

"Sistem ini berbeda dengan model perguruan tinggi yang menekankan mentoring dan penelitian. Jika hanya pelatihan berbasis rumah sakit, standar keilmuan bisa menurun," katanya.

Ia juga menyoroti peraturan turunan, seperti PP Nomor 28 Tahun 2024, yang dinilai bermasalah. Salah satunya terkait aturan tentang tugas pemindahan, yakni memberi kewenangan dokter umum untuk melakukan tindakan medis tertentu.

“Resikonya tinggi, dokter umum tidak selalu memiliki kemampuan untuk menangani operasi darurat, apalagi dengan komplikasi dan dapat membahayakan nyawa ibu hamil serta bayinya,” tutur Wahyudi.

Ia juga mengecam kebijakan Surat Tanda Registrasi (STR) seumur hidup tanpa resertifikasi. "Alasannya adalah untuk mengurangi biaya dan sindikat sertifikasi, tapi kebijakan ini justru bisa menurunkan standar kompetensi dokter." Menurutnya, masalah mafia seharusnya diselesaikan, bukan sistemnya dihapus.

Di sisi lain, Wahyudi menekankan perlunya perhatian terhadap kebijakan masuknya dokter asing dengan bayaran lebih tinggi. Ia menilai alasan menambah jumlah dokter lewat cara ini tidak tepat dan justru bisa menimbulkan masalah baru.

“Kehadiran dokter asing justru berpotensi meningkatkan biaya dan mendorong komersialisasi layanan kesehatan,” tambahnya.

Sementara itu, dosen Fakultas Hukum UGM, Dr Totok Dwi Diantoro menekankan pentingnya tata kelola dalam penyelenggaraan kesehatan. Menurutnya, Undang-Undang Kesehatan memberikan kewenangan yang terlalu besar kepada Menteri Kesehatan.

"Ada penumpukan wewenang yang berlebihan, mulai dari pendidikan dokter, organisasi profesi, hingga pelayanan publik. Kondisi ini bisa menimbulkan campur tangan yang terlalu jauh,” ujar Totok.

Ia menambahkan, tanda-tanda industrialisasi layanan kesehatan terlihat jelas pada kebijakan pendidikan dokter spesialis yang lebih menekankan model hospital based.

"Kalau prinsip-prinsip pendidikan di perguruan tinggi diabaikan, kualitas dokter spesialis ke depan bisa terancam," katanya.

Wahyudi juga menegaskan pentingnya peran Mahkamah Konstitusi dalam memastikan masyarakat mendapat layanan kesehatan yang adil. Ia menilai UU Nomor 17 Tahun 2023 masih menyisakan banyak kelemahan, termasuk risiko meningkatnya antrian pasien di rumah sakit.

“Kita berharap hakim konstitusi benar-benar mendengar keluhan masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah. Dua hal yang harus dijaga untuk bangsa yang kuat adalah kesehatan dan pendidikan,” ucapnya saat diwawancarai wartawan.

Read Entire Article