Sejumlah tokoh nasional yang tergabung dalam Gerakan Nurani Bangsa (GNB) berharap pemerintah mendengar dan mengkaji '17+8 Tuntutan Rakyat: Transparansi, Reformasi, Empati'. GNB berharap pemerintah mempertimbangkan isi tuntutan tersebut.
Hal itu disampaikan GNB saat penyampaian pesan kebangsaan di Rumah Pergerakan Griya Gus Dur, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (3/9/2025). Tokoh nasional yang menghadiri acara tersebut yakni Nyai Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Alissa Qotrunnada Wahid, Ignatius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo, Romo Franz Magnis-Suseno, Pendeta Gomar Gultom, Romo Agustinus Setyo Wibowo, Lukman Hakim Saifuddin, Erry Riyana Hardjapamekas, Laode Muhammad Syarif dan Ery Seda.
"Setelah saya baca tuntutan 17+8 itu saya lihat tidak ada satupun yang bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh GNB, bahkan itu saling menguatkan. Bahasanya agak berbeda," kata mantan Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Oleh karena itu, jangan cuma dengerin doang, lu kerjain itu apa yang diminta oleh orang tua dan anak muda ini," tambahnya.
Direktur Jaringan GUSDURian Alissa Qotrunnada Wahid mengatakan tuntutan 17+8 disuarakan masyarakat secara langsung. Dia mengingatkan kekuatan demokratisasi digital saat masyarakat menggaungkan simbol 'Garuda Biru'.
"Ini sangat baik karena ini disuarakan oleh masyarakat secara langsung, disuarakan oleh anak muda melalui moda digital," ujar Alissa.
Sementara itu, mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan GNB berharap 17+8 tuntutan rakyat didengar, dikaji lalu dipertimbangkan. Dia mengatakan masyarakat perlu mendapatkan informasi yang lengkap terkait sikap Pemerintah terhadap tuntutan tersebut.
"Jadi kalau ditanya apa harapan GNB terhadap 17+8 dan tentu aspirasi yang di luar 17+8, tiga saja sebenarnya. Apakah itu bisa segera dilaksanakan, yang kedua apakah itu tidak bisa dilaksanakan, atau sedang dipertimbangkan sedang dikaji karena butuh waktu, butuh proses dan seterusnya," ujar Lukman.
Dia mengatakan pesan kebangsaan GNB kali ini ditujukan khusus kepada Presiden Prabowo selaku kepala negara dan kepala pemerintahan. Menurutnya, pemerintah harus menyampaikan hasil kerjanya secara transaparan kepada masyarakat.
"Jadi masyarakat perlu mendapatkan informasi yang cukup bahwa pemerintahan ini bekerja, sedang berproses di ini, menyikapi berbagai tuntutan itu. Jangan tidak ada suaranya, karena kalau tidak ada suaranya, rakyat bisa menganggap, ya ini kami nggak didengar nih," ujarnya.
Dalam acara ini, para tokoh nasional yang tergabung dalam GNB menyampaikan pandangannya menyikapi situasi yang terjadi di Indonesia. Romo Magnis mengatakan aksi demonstrasi yang belakangan terjadi merupakan bentuk ledakan kecewa dan amarah rakyat.
"Apa yang akhirnya kemarahan, kekecewaan, frustasi masyarakat meledak. Mulai barangkali dari Pati sampai akhirnya di banyak kota besar di Indonesia, kelihatan bertahun-tahun masyarakat mengalami frustasi, melihat bahwa Indonesia itu sepertinya milik mereka yang di atas. Yang memperkaya diri tanpa malu-malu menambah fasilitas, dan masyarakat sendiri susah. Dan itu meledak dan sangat berbahaya," kata Romo Magnis.
Romo Magnis juga menilai aksi penjarahan dan perusakan fasilitas umum yang terjadi saat demontrasi bukan kemarahan rakyat. Dia mengatakan aksi demonstrasi itu ditunggangi oleh oknum yang memanfaatkan momen penyampaian aspirasi tersebut.
"Tentu ada poin kedua teman-teman, saya tidak begitu tahu, saya hanya duduk di rumah, tetapi katanya pembakaran dan stasiun TransJakarta, rumah penjarahan, itu bukan kemarahan rakyat, rupa-rupanya ada yang menunggangi, ada yang ikut main, memanfaatkan kesempatan untuk merusak, itu tentu sesuatu yang jahat," ujar Romo Magnis.
Pendeta Gomar juga menyampaikan rasa keprihatinannya. Dia mengimbau semua pihak tetap waspada dan tidak terprovokasi saat melakukan aksi demonstrasi.
"Oleh karenanya kalaupun demo misalnya ini terus berlangsung, kami terus mengimbau supaya semua waspada dan tidak terprovokasi untuk hal-hal yang justru bertentangan dengan apa yang hendak disampaikan," ujar Pendeta Gomar.
Dia mengatakan situasi ini menjadi momen yang tepat untuk melakukan refleksi bersama. Dia mengatakan momen ini juga harus digunakan para anggota Parlemen untuk berbenah diri.
"Oleh karenanya ini saatnya saya kira untuk anggota parlemen kita berbenah diri, memeriksa dan sekaligus juga kepada para pimpinan parpol untuk menyiapkan kader-kadernya dengan baik, dan menegur bila perlu merecall anggotanya yang mencederai perasaan umat yang diwakilinya. Ini saat yang sangat baik buat parlemen berrefleksi dan para parpol kita," ujarnya.
Dia juga menyoroti alokasi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2025. Menurutnya, pemborosan yang tidak mementingkan rakyat perlu ditinjau ulang.
"Nah ini yang terjadi sekarang misalnya saja langkah konkret yang bisa dilakukan oleh pemerintah kita sekarang ini adalah mengevaluasi RAPBN kita, melihat bagaimana RAPBN kita posturnya lebih berpihak kepada rakyat. Segala bentuk pemborosan yang tidak perlu dengan fasilitasi pejabat negara dan parlemen ini perlu ditinjau," ujarnya.
"Termasuk juga proyek-proyek yang nampaknya mercusuar tapi di sana sini kita melihat tidak tepat sasaran perlu ditinjau ulang. Saya sebut saja misalnya makan bergizi gratis, operasi merah putih, sekolah rakyat. Saya perlu ditinjau ulang, benarkah ini untuk kepentingan rakyat, dan diawasi, kalau perlu diteruskan diawasi dengan sebaik-baiknya," tambahnya.
Mantan Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif juga menyoroti alokasi RAPBN 2025. Dia berharap pmerintah tidak melanjutkan kebijakan yang tidak mementingkan rakyat.
"Saya pikir penting sekali DPR dan eksekutif, Presiden menilai ini dan Kementerian Keuangan jangan lagi melanjutkan kebijakan-kebijakan yang tidak mementingkan rakyat. Misalnya sekolah rakyat, padahal kita sudah punya sekolah dasar, kita punya koperasi, bahkan sekarang ada koperasi merah putih, dan seterusnya dan seterusnya," ujar Laode.
Laode mengatakan yang terpenting dilakukan pemerintah tidak hanya mendengar aspirasi tapi menjalankan masukan tersebut. Dia mengatakan kekerasan, pembakaran, perusakan fasilitas umum hingga penjarahan juga tidak boleh dilakukan.
"Saya pikir polisi sebagai menempati nomor kedua untuk anggaran tahun 2025 harusnya jauh lebih profesional lagi dan tidak menggunakan kekerasan," kata Laode.
"Pada saat yang sama yang demo juga tidak dibenarkan sama sekali juga untuk melakukan pembakaran, melakukan penjarahan, terhadap siapa saja, termasuk politisi yang tidak kita senangi ndak boleh dijarah. Penjarahan itu adalah suatu bagian dari sikap yang bar-bar," imbuhnya.
Guru besar Fisipol UI Ery Seda menilai perlu ada solusi jangka panjang secara menyeluruh. Dia mengatakan harus ada sistem yang secara tidak langsung memaksa para pemimpin berperilaku sesuai hukum yang berlaku.
"Ini perlu ada solusi jangka panjang secara menyeluruh, sehingga kita tidak tergantung Presidennya siapa, ketua DPR-nya siapa, ketua Mahkamah Agung-nya siapa, sistemnya itu dalam tanda kutip memaksa orang-orang yang duduk bertanggung jawab itu untuk berperilaku sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga tidak setiap kali ganti Pemerintah, ganti kebijakan, rakyatnya terus terusan masih marah," ujar Ery Seda.
Dia mengatakan sistem itu tidak boleh korup, nepotisme dan melanggar hukum. Dia mengatakan sistem di Indonesia harus diubah dan dibenahi.
"Itulah tantangan kita bersama bapak ibu, bagaimana merubah sistem supaya legislatif, yudikatif, dan eksekutif kita itu memang dalam tanda kutip mengikuti aturan hukum yang berlaku, tentu harus adil karena kalau bergantung pada orang per orang, ya malaikat pun agak sulit memimpin Indonesia sekarang ini. Saya rasa tidak berlebihan kalau saya mengatakan demikian," katanya.
"Jadi dengan kata lain, sistemnya harus dibenahi terlebih dahulu, sesudah itu, orang-orangnya," tambahnya.
Mantan Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas dan Romo Agustinus Setyo Wibowo juga menyampaikan pandangannya. Romo Setyo menilai aksi demonstrasi yang belakangan terjadi merupakan wujud hilangnya rasa percaya masyarakat.
"Saya melihatnya sebagai semacam reaksi kemarahan dari rakyat yang sudah kehilangan trust ya, kayak tidak tahu lagi kepada siapa harus mengadu begitu," kata Romo Setyo.
"Tapi kami ingin mengingatkan bahwa kata filosofi filsuf mana yang mengatakan ini tapi saya dengar tadi temen-temen saya, jenderal militer, tidak ada anak buah yang salah, komandan yang harus bertanggung jawab," kata Erry Riyana.
Alissa Wahid menilai aksi demonstrasi yang terjadi belakangan ini berbeda dengan demo sebelumnya. Dia mengatakan kemarahan rakyat yang kuat sudah tercermin sejak demontrasi warga Pati, Jawa Tengah.
"Jadi pembicaraan kalau kita melihat respon Presiden itu fokusnya lebih banyak kepada penanganan kondisi penjarahan, anarki dan lain-lainya itu. Tetapi yang harus diingat adalah demo saat ini itu sangat berbeda dengan demo-demo sebelumnya, kemarahan rakyatnya itu terasa sangat kuat, tadi disampaikan Romo Setyo, dan itu sudah dimulai dari Pati. Jadi bukan hanya kejadian ojol saja gitu, kalau tidak ada kemarahan tersebut, siapapun pencolengnya, penunggangnya tidak akan bisa menggerakkan seperti itu," kata Alissa Wahid.
Dia mengatakan rakyat punya logika dan rasa. Dia mengutip pandangan ahli terkait kepercayaan ibarat oksigen untuk menggambarkan situasi masyarakat saat ini.
"Ada seorang ahli mengatakan bahwa kepercayaan itu seperti oksigen, pada saat ada tidak terasa, tapi pada saat tidak ada, kita sesak nafas. Dan itu yang terjadi sekarang, kita semua sesak nafas karena ketidakpercayaan itu sudah sedemikian kuat. Makany...