Derita Wanita Usia 20 Tak Berhenti Terangsang, Ini Gejala yang Dirasakan

5 days ago 7
Jakarta -

Gangguan gairah genital persisten atau Persistent Genital Arousal Disorder (PGAD) adalah kondisi klinis yang hingga kini belum sepenuhnya dipahami. Pengidapnya biasanya mengalami gairah genital yang berlangsung terus-menerus tanpa disertai hasrat seksual. Kondisi ini dapat secara serius mengganggu kehidupan sehari-hari, pekerjaan, bahkan memicu munculnya pikiran untuk bunuh diri pada sebagian pasien.

Sejak pertama kali dideskripsikan pada tahun 2001, laporan kasus PGAD telah dipublikasikan oleh berbagai klinisi dari seluruh dunia. Hingga tahun 2019, International Society for the Study of Women's Sexual Health (ISSWSH) mengeluarkan konsensus ahli pertama mengenai diagnosis dan pengobatan PGAD, sekaligus mengganti istilahnya menjadi PGAD atau Genito-Pelvic Dysesthesia (PGAD atau GPD).

Salah satu contohnya adalah kasus seorang wanita berusia 20 tahun di China yang dipublikasikan dalam jurnal AME Case Reports. Tanpa disebutkan namanya, pasien tersebut diketahui belum menikah dan memiliki riwayat epilepsi. Kondisi epilepsinya ditandai dengan hilangnya kesadaran secara episodik tanpa disertai kejang, jatuh, atau inkontinensia sejak usia 12 tahun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gejala yang Dirasakan

Pada usia 15 tahun, pasien pertama kali dirawat di departemen psikiatri dan mendapat terapi obat. Tak lama setelah itu, ia mulai merasakan sensasi seperti aliran listrik yang menjalar dari perut bawah ke perut atas, disertai kontraksi rahim atau otot panggul yang mirip dengan orgasme. Gejala ini muncul beberapa kali sehari, berlangsung beberapa detik, dan terjadi secara hilang-timbul.

Pemeriksaan Elektroensefalogram (EEG) yang dilakukan berulang kali tidak menunjukkan adanya gelombang epilepsi. Gejala berlanjut hingga usia 18 tahun, dan pasien mulai meyakini bahwa orgasme tersebut disebabkan oleh manipulasi orang lain.

Gejala berlanjut hingga usia 18 tahun, dan pasien mulai meyakini bahwa orgasme tersebut disebabkan oleh manipulasi orang lain. Terapi obat membantu mengendalikan kejang dan delusi, sekaligus memulihkan fungsi sosial. Namun, setelah penyesuaian obat (detail tidak diingat pasien akibat penurunan daya ingat), gejala kembali memburuk hingga ia tidak dapat bekerja.

Pasien berasal dari keluarga dengan hubungan harmonis, memiliki prestasi akademik baik sebelum sakit, tidak memiliki riwayat keluarga dengan kondisi serupa, dan tidak pernah mengalami pelecehan seksual. Ia pernah menjalin hubungan romantis singkat, namun menyangkal pernah memiliki pengalaman seksual.

Awal Kunjungan ke Rumah Sakit

Selama kunjungan pertamanya ke salah satu rumah sakit di China, pasien mengalami kejang yang signifikan dan sering, hingga wawancara harus dihentikan. Tim medis mengamati episode orgasme spontan dan tak terkendali yang berlangsung terus-menerus, sementara pasien tetap sadar. Pasien merasa terganggu oleh kondisi tersebut dan meyakini orang-orang di sekitarnya memanipulasi kejangnya.

Selama masa rawat inap, tim medis memprioritaskan untuk menyingkirkan kemungkinan epilepsi. Pemeriksaan EEG selama 3 jam dilakukan saat periode kejang, namun tidak ditemukan gelombang epilepsi. Pemberian maupun penghentian obat anti-epilepsi tidak memberikan pengaruh berarti terhadap frekuensi kejang.

Konsultasi dengan dokter spesialis saraf kemudian dilakukan untuk memperkuat penilaian tersebut. Hasil pemeriksaan pencitraan resonansi magnetik (MRI) kranial, ultrasonografi transrektal uterus dan adneksa, serta pemantauan EEG tidur tidak menunjukkan kelainan. Rangkaian pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan kejang yang disebabkan oleh kelainan struktural pada sistem saraf atau rongga panggul, serta aktivitas listrik otak yang abnormal saat tidur.

Pemberian obat antipsikotik seperti risperidon sebesar 1 mg per hari dengan cepat mengendalikan gejala pasien, mengurangi jumlah dan tingkat keparahan kejang, sekaligus memperbaiki delusi. Setelah lima minggu terapi, dosis risperidon ditingkatkan menjadi 6 mg per hari.

Pada tahap ini, gejala sebagian besar terkendali, dengan hanya sesekali terjadi kejang ringan di tempat umum yang ramai. Pasien menyangkal adanya kaitan antara kejang tersebut dengan hasrat seksual.

Selain orgasme, tidak ditemukan gejala gairah pada organ reproduksi lainnya, seperti pembengkakan, nyeri, atau peningkatan sensitivitas. Kejang bersifat tak terkendali, dan kemunculannya di tempat umum pada siang hari membuat pasien merasa malu hingga tidak dapat melanjutkan sekolah atau bekerja.

Pasien kemudian menjalani kontrol rawat jalan secara rutin, dengan kondisi yang umumnya stabil. Gejala orgasme tetap terkendali, meskipun sesekali muncul situasi yang dianggap sensitif atau mencurigakan oleh pasien.

Adapun kasus yang dilaporkan dalam artikel ini menunjukkan karakteristik umum PGAD, namun ditandai oleh pengalaman orgasme yang berulang, tak terkendali, dan intrusif, tanpa kaitan dengan hasrat seksual.

Kondisi ini menimbulkan distres subjektif yang signifikan serta mengakibatkan ketidakmampuan pasien untuk belajar atau bekerja secara normal selama bertahun-tahun.

Selain itu, terdapat delusi sekunder yang berkaitan dengan pengalaman orgasme tersebut. Meskipun pasien memiliki riwayat epilepsi, penelusuran riwayat medis yang cermat dan pemeriksaan diagnostik yang relevan menyingkirkan kemungkinan bahwa gejala disebabkan oleh kejang epilepsi. Seluruh gejala pasien dapat dikendalikan sepenuhnya melalui pengobatan antipsikotik.

(suc/kna)


Read Entire Article