Lampung Geh, Lampung Barat – Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BBTNBBS) menyatakan aktivitas perambahan liar di kawasan konservasi menjadi penyebab utama meningkatnya konflik antara manusia dan satwa liar, khususnya harimau sumatera.
Pernyataan ini disampaikan menyusul insiden tewasnya seorang petani musiman akibat serangan harimau di wilayah zona rehabilitasi taman nasional, Kabupaten Lampung Barat.
Korban bernama SD (59), petani asal Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, ditemukan dalam kondisi mengenaskan setelah sempat dilaporkan hilang selama dua hari.
Ia diketahui membuka kebun secara ilegal di dalam kawasan hutan TNBBS, tepatnya di Register 468 Gunung Sekincau, bersama saudaranya. Mereka tinggal di gubuk-gubuk terpisah di sekitar lokasi.
“Setiap pembukaan lahan ilegal mempersempit ruang hidup satwa liar dan meningkatkan risiko interaksi yang berbahaya. Ini bukan lagi sekadar pelanggaran hukum, tapi juga ancaman nyata bagi keselamatan manusia,” ujar Kepala Balai Besar TNBBS, Hifzon Zawahiri, dalam keterangannya, Senin (26/5).
Jasad korban ditemukan oleh warga di semak-semak, sekitar 50 meter dari gubuk tempat tinggalnya di Pekon Sukadamai, Kecamatan Air Hitam.
Saat ditemukan, hanya bagian kepala korban yang masih utuh. Identitas Sudarso dikenali dari sisa pakaian yang menempel di tubuhnya.
Tim TNBBS yang turun ke lokasi menemukan sejumlah jejak harimau dan kotoran yang saat ini tengah diuji DNA-nya untuk memastikan keterkaitannya dengan insiden tersebut.
Lokasi tempat korban ditemukan merupakan habitat alami harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), yang dikenal sensitif terhadap gangguan manusia.
“Harimau adalah satwa teritorial. Jika ruang hidupnya terganggu, terutama oleh aktivitas ilegal seperti pembukaan lahan, maka risiko konflik akan meningkat,” jelas Hifzon.
Data yang dihimpun Balai Besar TNBBS mencatat, sepanjang Februari 2024 hingga Januari 2025, telah terjadi lima kasus konflik antara harimau dan manusia di wilayah Lampung Barat.
Empat orang dilaporkan meninggal dunia dan satu lainnya mengalami luka-luka.
Untuk menekan konflik, BBTNBBS terus melakukan patroli rutin, pemasangan camera trap guna memantau pergerakan satwa, serta meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan.
“Kami mengajak masyarakat untuk tidak melakukan perambahan di kawasan konservasi. Selain melanggar hukum, itu juga membahayakan diri sendiri,” kata Hifzon.
Sementara itu, warga di sekitar lokasi kejadian mendesak agar pengawasan terhadap kawasan hutan diperketat.
Mereka khawatir, selama masih ada pembiaran terhadap aktivitas perambahan, potensi konflik serupa akan terus terjadi. (Cha/Put)