
Mulai 1 Januari 2026 peserta asuransi kesehatan harus mengeluarkan uang pribadi saat berobat karena tidak ditanggung 100 persen oleh perusahaan asuransi. Besarannya 10 persen dari total klaim.
Aturan tersebut mengacu pada Surat Edaran Nomor 7/SEOJK.05/2025 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menetapkan sistem co-payment atau pembagian biaya.
Astrid, seorang karyawan swasta di Jakarta, mengaku kecewa dengan aturan ini. Bagaimana tidak, dia setiap bulan rutin membayar tagihan premi, tapi harus mengeluarkan uang lagi ketika berobat tahun depan.
"Saya bayar premi tiap bulan biar tenang, eh ternyata pas sakit masih harus bayar lagi. Jadi mikir, ini asuransi bantuin saya, atau cuma sebagian aja?" katanya kepada kumparan, Jumat (6/6).
Astrid mengaku mulai mempertimbangkan ulang kelanjutan asuransinya. "Jadi mikir, apa mending ditabung sendiri aja. Minimal saya tahu ke mana uangnya, dan nggak kecewa saat butuh,” kata dia Astrid.
Selama ini asuransi kesehatan sebagai salah satu bentuk perlindungan paling aman ketika risiko datang tak terduga. Di tengah tekanan biaya hidup dan ketidakpastian ekonomi, banyak keluarga menjadikannya sebagai pagar terakhir, tempat mereka bisa bersandar saat badai datang. Tapi kini, pagar itu tampak mulai goyah.
Dari sisi regulator, OJK berdalih kebijakan ini untuk menjaga keberlangsungan industri. Mereka menilai banyaknya klaim berlebihan telah membebani perusahaan asuransi. Dengan membebankan sebagian biaya ke peserta, diharapkan peserta lebih bijak menggunakan manfaat. Namun logika itu tak mudah diterima di lapangan.

Seorang ibu rumah tangga asal Jakarta bernama Sania mengaku selama ini saja pengalamannya dengan asuransi selalu tidak mengenakan. Ketika berobat, klaimnya sering ditolak. Dia makin tidak percaya jika aturan baru ini diberlakukan.
"Saya sekeluarga ikut asuransi biar nggak kelabakan kalau ada yang sakit. Tapi kalau tetap harus bayar lagi, rasanya kayak beli payung mahal tapi tetap kehujanan,” keluhnya.
Harusnya Benahi Sistem Polis, Bukan Bebani Konsumen
Kebijakan ini langsung memicu reaksi keras dari kalangan perlindungan konsumen. Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) menilai aturan tersebut berat sebelah. Menurut Ketua FKBI, Tulus Abadi, aturan ini lebih berpihak kepada industri asuransi, bukan kepada masyarakat sebagai peserta.
“Dalam catatan FKBI, aturan baru tersebut tidak adil, sebab terlalu berpihak pada industri asuransi, dan sebaliknya mereduksi hak hak konsumen sebagai pemegang polis asuransi,” kata Tulus kepada kumparan, Jumat (6/6).
FKBI menduga proses penyusunan regulasi ini tidak melibatkan suara konsumen.“Kami menduga dalam proses pembuatan SEOJK No.7/2025 tersebut tidak melibatkan representasi (lembaga) konsumen; dan sebaliknya hanya melibatkan kalangan industri asuransi saja,” tambahnya.
Dalam aturan yang barunya, OJK memang memberi batas maksimal tanggungan peserta Rp 300.000 untuk rawat jalan dan Rp 3 juta untuk rawat inap. Tapi bagi Tulus, tetap saja konsumen harus menanggung sendiri sebagian beban.
OJK beralasan kebijakan ini dibuat untuk menekan klaim berlebihan dari peserta dan menjaga kesehatan keuangan perusahaan asuransi. Namun bagi FKBI, alasan tersebut tidak masuk akal.
“Jika ketentuan itu diklaim sebagai upaya untuk mengurangi perilaku moral hazard konsumen, yang diklaim sering melakukan over utilitas, ini jelas klaim yang absurd alias menggelikan,” kata Tulus.
Ia justru balik menuding bahwa pelaku moral hazard sesungguhnya adalah industri asuransi itu sendiri.
“Justru yang sering melakukan dugaan tindakan moral hazard adalah industri asuransi itu sendiri; yakni seringnya menolak hak hak konsumen yang mengajukan klaim, dengan berbagai macam dalih yang disampaikan,” tegasnya.

Menurut Tulus, seharusnya OJK fokus membenahi isi polis asuransi, supaya tidak merugikan konsumen. Padahal seharusnya OJK mereformasi total format polis asuransi untuk memitigasi adanya klausula baku yang diselundupkan dalam polis asuransi tersebut. "Bukan malah membuat regulasi yang justru mereduksi dan menyudutkan hak hak konsumen asuransi.
Ia juga memperingatkan, aturan ini bisa memperburuk citra industri asuransi yang sedang mengalami krisis kepercayaan akibat kasus-kasus gagal bayar hingga skandal korupsi.
YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) juga menyuarakan keberatan. Sekretaris Eksekutif YLKI, Rio Priambodo, menilai aturan baru ini bertentangan dengan semangat perlindungan konsumen.
“Harusnya peserta dijamin 100 persen oleh perusahaan asuransi sebagai bentuk pertanggungan terhadap konsumen dan itu sudah menjadi risiko,” kata Rio.
Ia mengkritik langkah OJK yang mengubah isi kesepakatan secara sepihak. “Ini jelas merugikan konsumen yang sudah telanjur kontrak polis dengan pihak asuransi dan di tengah jalan konsumen harus dihadapkan dengan kondisi perubahan yang tidak menguntungkan konsumen dan cenderung merugikan,” ujarnya.
Menurut Rio, kebijakan co-payment akan membuat posisi konsumen makin lemah karena tidak sesuai dengan kontrak awal. YLKI juga menilai, tambahan biaya 10 persen sangat berdampak pada peserta aktif.
“YLKI meminta OJK mengkaji ulang aturan pembebanan biaya 10 persen tersebut tentu ini berdampak besar terhadap konsumen yang sudah berjalan,” ujarnya.