Jakarta -
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengusulkan agar belanja wajib (mandatory spending) untuk pendidikan yang sebesar 20% dari belanja negara dikaji ulang. Usulan itu disampaikan saat rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR RI.
Sri Mulyani mengusulkan agar belanja wajib untuk anggaran pendidikan yang sebesar 20% dialokasikan dari pendapatan negara, bukan belanja negara. Pasalnya belanja negara dinilai menghadapi banyak ketidakpastian dan tidak memperhitungkan kondisi riil belanja negara.
"Kami sudah membahasnya di Kementerian Keuangan, ini caranya mengelola APBN tetap comply atau patuh dengan konstitusi, di mana 20% setiap pendapatan kita harusnya untuk pendidikan. Kalau 20% dari belanja, dalam belanja itu banyak ketidakpastian, itu anggaran pendidikan jadi koclak, naik turun gitu," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR RI tentang Penetapan Postur Sementara RUU APBN 2025, Rabu (4/9/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sri Mulyani mencontohkan, saat belanja negara di tengah tahun 2022 harus naik karena belanja subsidi energi melonjak sehingga anggaran pendidikan ikut mengalami penyesuaian. Padahal kenaikan belanja itu bukan karena pendapatan negara naik, melainkan harga minyak dunia meningkat akibat konflik geopolitik.
"Ini yang menyulitkan dalam mengelola keuangan negara, dalam artian APBN harus tetap terjaga defisit di bawah 3%, APBN terjaga sustainable, tetapi compliance terhadap 20% anggaran pendidikan tetap kita jaga," ucapnya.
Akibatnya, kata Sri Mulyani, realisasi anggaran pendidikan yang terserap sering di bawah ketentuan mandatory spending itu. "Sebagai contoh 2022 itu kenaikan harga minyak di Agustus-September. Nggak mungkin ada kenaikan Rp 200 triliun, kemudian 20%-nya belanja pendidikan harus kemudian dibelanjakan semuanya dalam empat bulan," jelasnya.
Menurut Sri Mulyani, perubahan ini penting untuk menjaga Menteri Keuangan berikutnya bermanuver atau bergerak cepat dalam merespons kondisi perekonomian yang terus berubah, di sisi lain tetap patuh terhadap konstitusi.
"Menteri keuangan, bendahara negara harus punya ruang untuk manuver karena APBN ditetapkan hari ini, minggu depan saja asumsi bisa bergerak. Nggak mungkin semuanya dikunci nggak bergerak, itu nanti pasti akan crack sehingga bagaimana menteri keuangan selanjutnya itu tetap bisa punya ruang untuk manuver, tapi tetap transparan dan tetap patuh pada konstitusi," papar Sri Mulyani.
"Ini yang menurut saya perlu kita bahas mengenai definisi anggaran pendidikan, terutama sumber untuk menghitung 20% itu. Kami nanti akan usulkan bagaimana supaya bendahara negara ke depan tetap bisa menjaga APBN itu tetap terjaga sustainable, kredibel, hingga tetap patuh terhadap konstitusi. Ini mungkin nanti yang akan kami usulkan dalam panja perundang-undangan APBN akan kami sampaikan juga," tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah pun merespons baik permintaan Sri Mulyani itu. Ia mengatakan pihaknya akan mengirimkan surat untuk memformulasi ulang ketentuan mandatory spending itu ke pimpinan DPR, supaya bisa dibahas di badan legislasi (Baleg).
"Banggar akan mengambil peran untuk bersurat kepada pimpinan DPR agar pimpinan DPR meneruskan ke Baleg untuk melakukan revisi undang-undang pendidikan. Karena berbagai item kami sudah dapat daripada keahlian DPR, termasuk sekolah-sekolah kedinasan, diklat dan sebagainya, Akpol, Akmil, itu seharusnya bagian dari anggaran pendidikan," tutur Said.
Simak juga Video: Sri Mulyani Sebut Makan Bergizi Gratis Masuk APBN 2025, Anggaran Rp 71 T
(aid/rrd)