Sarjana Ilmu Komputer di AS Makin Sulit Dapat Kerja, AI Jadi Biang Kerok

13 hours ago 3

Jakarta -

Pasar tenaga kerja Amerika Serikat (AS) menghadapi tantangan serius berkaitan dengan teknologi. Kini, muncul fenomena mencari kerja di bidang software development menjadi hal yang tidaklah mudah.

Abraham Rubio misalnya, sudah melamar 20 posisi sejak lulus, tapi belum ada satu pun tawaran yang datang. Ia mengaku hampir membuka LinkedIn setiap hari untuk mencari peluang yang ada namun hasilnya nihil.

"Hampir setiap hari saya buka LinkedIn, cuma buat scrolling cari peluang apa yang ada," ujarnya, sembari menambahkan bahwa kebanyakan perusahaan tak memberi respons, dilansir dari CNN, Minggu (31/8/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejak kecil, Abraham Rubio sudah bercita-cita jadi software engineer. Di platform gim Minecraft, ia gemar utak-atik mods atau modifikasi buatan penggemar yang bisa mengubah tampilan karakter hingga fitur permainan.

Lama-lama, ia tak lagi puas hanya menjajal mods buatan orang lain. Ia ingin menciptakan miliknya sendiri. Dari situlah minat awal itu membawanya kuliah coding di Bloomfield College of Montclair State University, New Jersey, hingga lulus Mei lalu dengan gelar ilmu komputer dan pemrograman gim.

Bertahun-tahun lamanya, ketika Silicon Valley sedang jaya-jayanya dan berbagai perusahaan berlomba investasi teknologi, gelar ilmu komputer, bahkan sertifikat dari bootcamp coding, dianggap menjadi jadi tiket emas menuju pekerjaan mapan dengan gaji tinggi di industri yang cepat bergerak.

Tapi dalam beberapa tahun terakhir, lowongan semakin kompetitif dan kian sulit didapat. Menurut laporan Oxford Economics pada Mei, jumlah pekerjaan bagi lulusan baru di bidang ilmu komputer dan matematika turun 8% sejak 2022.

Sementara itu, data Indeed yang dirilis Bank Sentral St. Louis menunjukkan iklan lowongan software development anjlok 71% dari Februari 2022 hingga Agustus 2025. Di sisi lain, geliat kemajuan kecerdasan buatan atau AI membuat banyak lulusan baru merasa ini saat yang tepat masuk industri.

Namun, AI juga dipakai perusahaan untuk mengotomatiskan sebagian proses coding dan pengembangan software, sehingga mengurangi kebutuhan tenaga manusia, terutama di level pemula.

Meski valuasi raksasa teknologi terus meroket, banyak di antaranya justru melakukan serangkaian PHK demi mencapai target dengan tim lebih ramping. Tren ini muncul seiring dengan perkembangan AI.

Microsoft, misalnya, bulan lalu jadi perusahaan kedua yang menembus valuasi US$ 4 triliun, hanya beberapa pekan setelah mengumumkan PHK 9.000 karyawan dalam putaran ketiga dalam beberapa bulan terakhir. CEO Satya Nadella bahkan mengungkap pada April lalu, hingga 30% kode Microsoft kini ditulis oleh AI.

"Kerja di bidang teknologi memang menjanjikan, tapi kondisi pasar kerja sekarang bikin rasanya hampir mustahil dapat posisi," kata Julio Rodriguez, lulusan Elms College di Massachusetts tahun lalu.

Ia butuh lebih dari 150 lamaran sebelum akhirnya diterima sebagai data engineer musim panas ini. "Dan begitu dapat, tetap saja dihantui rasa waswas melihat banyaknya gelombang PHK di berbagai perusahaan," tambahnya.

(kil/kil)

Read Entire Article