Hiruk pikuk Pilkada serentak 2024 hari ke hari dalam beberapa pekan terakhir menjadi hidangan yang tersuguhkan di ruang publik. Perdebatan muncul di banyak platform. Dari mulai isu skenario kotak kosong, pecah kongsi koalisi gemuk, sampai berita terkait keretakan hubungan presiden terpilih Prabowo Subianto dengan presiden eksisting Joko Widodo yang mengubah peta konstelasi politik nasional dan Pilkada.
Dalam tradisi demokrasi, pergunjingan mengenai konstelasi politik dengan seluruh dinamikanya, baik pro maupun kontra adalah hal yang wajar. Akan tetapi, demokrasi tidak hanya dimaknai sebagai suatu sarana untuk berdebat siapa yang paling pantas dipilih. Demokrasi juga menghendaki munculnya perdebatan bagaimana yang akan dipilih menghadirkan solusi terhadap persoalan.
Sebagaimana yang dirumuskan oleh Keynes, bahwa dalam mewujudkan kesejahteraan, prinsip pertama adalah adanya demokrasi itu sendiri. Artinya, pembahasan yang muncul dalam kontestasi Pilkada, seharusnya juga sampai pada konsepsi ide dan gagasan untuk menyuguhkan berbagai alternative jawaban terhadap problem masyarakat. Mengingat, sejak Indonesia merdeka, kita telah sepakat bahwa demokrasi adalah satu sistem yang akan kita gunakan untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Menghadapi transisi kepemimpinan yang terjadi, seharusnya dijadikan sebagai penanda bahwa Indonesia ke depan akan 10 langkah lebih maju dari sebelumnya. Terutama dalam pemberantasan korupsi. Mengingat, lima tahun ke belakang utamanya, menjadi satu periodesasi pemerintahan yang sepertinya tidak serius dalam memberantas korupsi.
Mulai dari “pelemahan” KPK, penggunaan kasus korupsi sebagai alat lobi kepentingan, penindakan kasus korupsi yang seakan tebang pilih, dan lain sebagainya adalah potret bahwa memang agenda pemberantasan korupsi hanya sebagai pernak-pernik semata. Padahal, korupsi sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat.
Oleh karenanya, dengan terpilihnya presiden dan wakil presiden yang baru, serta terbentuknya kepala daerah yang baru maupun incumbent melalui tahapan Pilkada nanti, menjadi sebuah tantangan bagaimana periodesasi pemerintahan nasional yang baru nanti, mampu atau tidak membangun sinergi untuk secara serius memberantas korupsi.
Pilkada dan Korupsi Infrastruktur
Ada hal menarik untuk kita catat sebagai janji Prabowo Subianto selaku presiden terpilih dalam sambutannya pada penutupan Rapimnas partai Gerindra 31 Agustus kemarin. Dikatakan bahwa dirinya akan mengecek ulang anggaran untuk disisihkan khusus pemberantasan korupsi dan pengejaran koruptor.
Dengan lantang beliau mengatakan “kalaupun koruptor lari ke Antartika, aku kirim pasukan khusus untuk nyari mereka di Antartika”, ucapan ini paling minimal harus kita bold, sebagai pengingat untuk kita tagih kemudian pada saat dirinya sudah dilantik. Hal ini menjadi sangat mendesak, karena persoalan korupsi sudah mendarah daging, termasuk juga di daerah.
Tentu tidak bermaksud menjadikan persoalan korupsi di pemerintahan pusat dianggap sebagai hal yang tidak penting. Hanya saja, dengan berlangsungnya Pilkada, jika dikaitkan dengan data KPK sejak tahun 2004 sampai 2022, sebanyak 537 kasus korupsi ada di daerah. Artinya, dengan tingginya kasus tersebut, calon yang terpilih dalam Pilkada ini bukan tidak mungkin menambah rentetan kasus. Mengingat, sepanjang tahun 2022 saja, catatan Indonesian Corruption Watch (ICW) sebanyak 18 kepala daerah ditangkap karena terlibat rasuah.
Dari rentetan kasus tersebut, ICW juga mencatat bahwa korupsi infrastruktur adalah kasus yang paling banyak terjadi. Sepanjang tahun 2020-2021 saja misalnya, KPK menangani 36 kasus terkait korupsi infrastruktur di daerah. Artinya, pengadaan barang dan jasa kontruksi/infrastruktur adalah yang paling rawan dikorupsi. Sehingga, perlu mendapat pengawasan yang lebih ketat tanpa menghilangkan sektor lainnya.
Urgensi pengawasan pengadaan barang dan jasa infrastuktur tersebut pun menjadi semakin penting, mengingat ada satu produk undang-undang yakni Undang-undang Nomor 1 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, di mana ada klausul minimal 40 persen APBD harus dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur.
Artinya, kepala daerah terpilih dalam proses Pilkada nanti, selanjutnya harus menjalankan amanat undang-undang tersebut. Padahal sebagaimana data yang ada, infrastruktur merupakan proses pengadaan barang dan jasa yang paling rawan dan rentan dikorupsi. Apalagi, korupsi selalu berangkat dari aksioma keterlibatan beragam aktor dan jaringan, artinya tidak hanya dilakukan oleh satu aktor semata.
Merujuk aksioma di atas, sebaik dan sebenar apa pun kepala daerah, bukan tidak mungkin terjerat korupsi terutama korupsi infrastruktur. Apabila melihat hasil penelitian yang dilakukan oleh Sylvia Tidey di Kota Kupang pada 2012, menunjukkan bagaimana panitia tender bekerja sama dengan kontraktor guna merancang tender agar nampak sesuai aturan. Sehingga bukan tidak mungkin, pada ujungnya kepala daerah juga...