REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana peninjauan tempat kejadian perkara (TKP) bersama penyidik dalam kasus kematian diplomat muda Kementerian Luar Negeri, Arya Daru Pangayunan (ADP), batal terlaksana. Kuasa hukum keluarga, Dwi Librianto, menyebut pembatalan itu terjadi karena belum turunnya izin resmi dari pihak kepolisian.
“Kita sudah ajukan surat permohonan sejak awal, bahkan sudah ada jadwal dan pendampingan dari pihak penyidik pada 6 dan 10 Oktober. Namun sampai hari ini izin tertulis belum juga keluar,” kata Dwi saat dihubungi Republika, Rabu (15/10/2025).
Menurutnya, pihak kepolisian sempat meminta agar tim kuasa hukum lebih dulu meminta izin kepada pemilik rumah kos tempat korban ditemukan. Namun, langkah itu dinilai tidak relevan.
“Terus kita suruh buat surat ke pemilik kos, untuk minta izin dulu. Apa hubungannya kami dengan pemilik kos, kami kan korban Yang berwenang melakukan itu kan adalah penyelidik polisi. Kok kita minta izin sama pemilik kos, ini tindak pidana loh bukan perkara perdata,” katanya.
Dwi mengungkapkan, sejak awal pihaknya hanya ingin melihat langsung kondisi TKP bersama penyelidik sebagai dasar sebelum pertemuan lanjutan dengan kepolisian. Namun karena izin tak kunjung turun, pihak keluarga dan kuasa hukum memilih menunda dan tidak berani datang tanpa dasar hukum.
“Kita nggak sembarangan ke TKP langsung nyelonong gitu saja kan nggak bisa,” katanya.
Ia menambahkan, hingga kini keluarga korban belum memperoleh dokumen resmi hasil penyelidikan, termasuk hasil otopsi maupun gelar perkara terakhir. Data yang dimiliki hanya berasal dari foto-foto saat gelar perkara 27 Juli lalu dan informasi yang beredar di publik.
“Waktu RDP itu kita kasih note, data-data yang kita tampilkan adalah data-data hasil foto gelar perkara yang disampaikan kepada keluarga korban pada tanggal 27 Juli. Data-data dari media sosial Karena sampai dengan saat ini kuasa hukum tidak pernah menerima hasil pemberitaan perkembangan hasil penyelidikan, hasil otopsi. hasil gelar perkara tanggal 28 Juli Nggak ada, kita nggak ada data,” katanya.
Meski kecewa, pihak keluarga masih yakin kasus tersebut dapat diungkap tuntas oleh polisi. “Kami yakin banget,” ujarnya.
Sebagai tindak lanjut, tim kuasa hukum tengah menyiapkan permohonan gelar perkara khusus di Bareskrim Polri. Ia menyebut dua anggotanya, Bu Mira dan Pak Firza, akan mewakili tim dalam pertemuan tersebut.
“Rencananya Kamis ini kami ajukan langsung ke Bareskrim. Kalau di bawah tidak ada perkembangan, kami naik ke atasnya,” kata
Dwi juga mempertimbangkan langkah pelaporan ke Ombudsman RI. “Nanti saya coba laporan ke Ombudsman deh Mungkin ada, tapi memang kalau lembaga-lembaga gitu kan nggak ada giginya,” ujarnya.
Disinggung soal apakah pihak kuasa hukum sudah mengantongi bukti baru, ia tidak mengungkapnya. Namun, ia menilai banyak kejanggalan dalam kasus tersebut.
“Secara logika saja, apakah orang melilit-lilit itu bisa sendiri? Terus diselimuti, apakah bisa dilakukan sendiri? Itu logikanya saja, rapi loh, sangat rapi,” katanya.
“Katanya tidak ada pihak lain gimana tidak ada pihak lain? Orang, TKP-nya udah dirusak kok…Dari awal sudah di-frame bahwa ini bunuh diri,” katanya.
Ia berharap kepolisian segera memberikan akses dan kejelasan kepada pihak keluarga. “Ini korban dan ini seorang diplomat. Ini presiden atensi, DPR atensi, masak polisi nggak berani nggak atensi?” katanya mengakhiri.