Tangkapan layar Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti.
REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Bank Indonesia (BI) menyoroti masih rendahnya kontribusi pembiayaan syariah di sektor perbankan yang hanya menyumbang 8 persen. Padahal, hingga Juli 2024 pembiayaan syariah tumbuh 11,9 persen year on year (yoy) mencapai Rp 598 triliun.
"Walaupun pembiayaan syariah sudah tumbuh 12 persen, share terhadap perbankan secara total masih relatif kecil, baru 8 persen," kata Destry saat memberi sambutan pada FESyar Jawa 2024, Jumat (13/9/2024).
Destry menuturkan penyebab rendahnya kontribusi pembiayaan syariah ke perbankan lantaran terbatasnya instrumen keuangan berbasis syariah di Indonesia. Padahal, potensi pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia sangatlah besar karena jumlah penduduk muslim yang terus bertambah.
Kini, tercatat 235 juta penduduk muslim di Indonesia. Tak hanya itu, 70 persen di antaranya adalah anak muda yang sangat ramah terhadap perkembangan digital.
“Kita beruntung 70 persen dari populasi Indonesia itu adalah kalangan anak muda yang sangat digital savvy. Bahkan, Gen Z dan Alpha bangun itu sudah langsung kenal digital," kata dia.
Indonesia juga sudah membuktikan pertumbuhannya di perekonomian syariah dengan naiknya satu peringkat di posisi ketiga setelah Malaysia dan Arab Saudi dalam laporan State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2023. Setahun sebelumnya, Indonesia berada di peringkat keempat.
“Kita tidak boleh puas dengan pencapaian ini. Masih banyak tantangan yang dihadapi ekonomi syariah kita dan masih banyak yang sifatnya struktural," ujar Destry.
Oleh karenanya, guna meningkatkan jumlah instrumen syariah di pasar keuangan Indonesia, Deputi Gubernur Senior BI itu meminta agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dapat bersama-sama dengan BI untuk menciptakan produk unggulan syariah. Langkah tersebut juga dilakukan sebagai respons dari para pembuat regulasi dan pengawas pasar keuangan terhadap permintaan akan produk syariah yang sebetulnya sangat kuat.
"Kami di BI itu untuk open market operation, kami itu kadang sampai bingung ini kurang underlying-nya. Sampai kami akhirnya ambil global sukuk sebagai underlying karena di Indonesia masih kurang,” kata Destry.
“Ini jadi tantangan, ayo kita bersama berpikir bersama apa nih instrumen keuangan yang bisa kita kembangkan ke depan," lanjut Destry.