Baleg DPR mengagendakan rapat membahas revisi UU Pilkada hari ini, Rabu (21/8). Ada isu ada siasat untuk 'mengakali' putusan MK yang baru saja diketok soal persyaratan pencalonan di pilkada.
Pengajar Pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menjelaskan RUU Pilkada tersebut sejatinya naskah lama yang sudah disahkan di paripurna November 2023 sebagai RUU inisiatif DPR. Dengan tujuan utama untuk memajukan jadwal pilkada dari November ke September 2024.
Namun, menurutnya, upaya itu melandai akibat adanya Putusan MK No.12/PUU-XXII/2024 yang menyebut bahwa jadwal pilkada tidak boleh dimajukan atau dimundurkan dari rancangan jadwal pilkada serentak yang ada dalam UU Pilkada. yakni 27 November 2024.
"Selain itu memang ada Putusan-Putusan MK terkait pilkada yang normanya perlu akomodir dalam RUU Pilkada yang jadi inisiatif DPR tersebut," kata Titi pada Rabu (21/8).
Sebut saja misalnya Putusan MK No.85/PUU-XX/2022 yang memutuskan bahwa perselisihan hasil pilkada tetap di MK, bukan di badan peradilan khusus pilkada.
"Oleh karena itu, kalau sampai revisi terbatas ini menyimpangi Putusan MK yang diputus pada 20 Agustus barusan, maka tindakan tersebut merupakan pembangkangan konstitusi dan bisa membuat kacau balau pilkada," ujar Titi.
"Jadi kalau mau akomodir, ya harus sesuai sepenuhnya dengan Putusan MK," imbuhnya.
Pada Selasa (20/8), MK mengeluarkan dua putusan terkait UU pilkada. Pertama, Putusan 60 terkait ambang batas parpol untuk mengusung cakada yang awalnya berdasarkan perolehan kursi di DPRD menjadi menjadi berdasarkan daftar pemilih tetap di wilayah tersebut.
Putusan ini membuka peluang PDIP dan Anies yang terkunci, menjadi terbuka menatap Pilkada Jakarta.
Kedua, Putusan 70 terkait batas minimal usia cakada. Setelah putusan ini cakada minimal berusia 30 tahun saat ditetapkan sebagai calon. Putusan ini menutup kans pencalonan putra Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, karena belum cukup umur.
Bisa Coreng DPR dan Pemerintah
Titi berpendapat, jika RUU Pilkada yang coba dibahas Baleg hari ini nantinya disahkan jadi UU, maka akan langsung digugat publik atau para pihak ke MK dan pasti akan dibatalkan oleh MK.
"Kalau sampai terjadi, maka pilkada bisa amburadul dan akan jadi noda kotor demokrasi yang mencoreng DPR dan Pemerintah," tutur Titi.
"Massa yang tidak puas bisa melakukan perlawanan dan bukan tidak mungkin akan ada boikot terhadap pilkada yang berjalan dengan menyimpangi Putusan MK yang sejatinya isinya sangat baik bagi praktik demokrasi lokal di Indonesia," tutur dia.