Belakangan ini rakyat ‘terpaksa’ menonton beberapa drama politik di pentas nasional. Peristiwa ini termasuk pengunduran diri Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Partai Golongan Karya. Sampai saat ini, motif pengunduran dirinya masih menjadi misteri. Kursinya pun segera diambil oleh Bahlil Lahadalia. Peristiwa yang lain terkait dengan reshuffle kabinet oleh presiden di ujung rezimnya.
Menteri PDIP, Yasonna Laoly, pun digantikan oleh politikus Gerindra, Supratman Andi Agtas. Seperti pengunduran diri Airlangga, alasan pencopotan Yasonna Laoly pun masih misterius kecuali reshuffle adalah hak prerogatif presiden. Yasonna Laoly sudah memimpin Kemenkumhan hampir sepuluh tahun, kurang dua bulan.
Tontonan lain terkait dengan demo mahasiswa di gedung DPR/MPR di Jakarta dan berbagai kota di Indonesia. Unjuk rasa ini dipicu oleh ulah DPR yang hendak menganulir keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan syarat kursi yang harus dikantongi partai politik agar dapat mengajukan calon kepala daerah.
MK memutuskan bahwa partai politik boleh mengajukan calon meskipun kursinya tidak mencapai 20%. Keputusan ini sejatinya menguntungkan bagi semua partai politik, baik yang besar maupun yang kecil, karena menjanjikan pilkada yang lebih demokratis karena diharapkan akan lebih banyak pasangan calon ikut berkontestasi. Demokrasi lebih sehat. Kenyataannya, partai-partai besar tidak melihat keuntungan demokratis dalam keputusan MK tersebut; buktinya, mereka menolaknya.
Pemicu aksi demonstrasi lain berhubungan dengan penolakan DPR terkait dengan usia calon kepala daerah. MK memutuskan bahwa usia calon kepala daerah minimal 30 tahun. Keputusan ini pun hendak dianulir oleh DPR karena, konon kabarnya, dapat menjegal salah satu calon peserta pilkada keturunan penguasa. Sebagai informasi, partai-partai ini berada di pihak yang sama dengan sang penguasa.
Sebagian pengamat mengatakan tindakan DPR demikian tidak konstitusional. Dan drama-drama ini terjadi di bulan peringatan kemerdekaan bangsa ini. Ini pantas membuat kita miris.
Dua peristiwa terakhir tampaknya dapat disederhanakan sebagai konflik antara konstitusi dan penguasa, individu atau kolektif, atau, lebih sederhana lagi, antara hukum dan raja.
Saya ingin memberikan analogi lain untuk relasi antara hukum dan raja dari sudut pandang ilmu bahasa (linguistik). Relasinya: jika penutur adalah raja, tata bahasa (grammar) adalah hukum. Dalam hal ini, tata bahasa adalah hukum atau peraturan bahasa. Bertutur tanpa tata bahasa akan menjurus pada kegagalan komunikasi.
Ada banyak ungkapan terkait dengan superioritas aspek tata bahasa dalam deskripsi dan penggunaan bahasa. Salah satunya berbunyi If words are flesh and grammar is bones (Jika kosakata adalah otot, tata bahasa adalah tulang). Otot bersifat elastis yang dapat menyimbolkan kefanaan atau kebimbangan sementara tulang bersifat padat, keras, dan kaku yang dapat melambangkan kepastian, keteguhan atau kestabilan walaupun ini tidak berarti bahwa tata bahasa sebuah bahasa tidak bisa berubah.
Idealnya, otot dan tulang bekerja bersama atau membutuhkan satu sama lain untuk dapat berfungsi secara baik. Namun, harapan dan kenyataan tidak selalu berbanding lurus. Langkah DPR menganulir keputusan MK dapat dilihat sebagai upaya membengkokkan tulang hukum.
Dalam konteks ini, raja dapat dimajaskan sebagai otot dan hukum sebagai tulang. Otot dibentuk oleh tulang. Manusia dan hukum yang diciptakannya sama-sama fana, tetapi, paling tidak, hukum sejatinya bertahan lebih lama atau lebih langgeng daripada manusia, apalagi segelintir manusia semata. Itu juga sebabnya kenapa hukum tidak diproduksi seperti layaknya memproduksi kebutuhan sehari-hari, seperti halnya tata bahasa.
Oleh karena itu, pesan yang terpenting dari metafora demikian adalah ide-ide tentang kelanggengan dan keadilan. Manusia mengandung sifat subjektifnya; hukum mesti bersifat objektif karena produksinya melibatkan kumpulan manusia-manusia dengan subjektivitasnya masing-masing; banyak subjektivitas menuju satu objektivitas.
Lebih lanjut tentang ungkapan di atas, kita biasanya memaklumi jika sebuah kata asing dipinjam ke dalam bahasa Indonesia. Namun, ketika tata bahasanya yang dipinjam, efeknya menjadikan bahasa terdengar tidak alami. Hal ini karena tata bahasa bekerja dengan melibatkan dua atau lebih kata yang membangun sebuah frasa atau proposisi yang lebih panjang.
Berbeda dengan tata bahasa, kata serapan yang berada pada tingkatan leksikal hanya mengakibatkan efek parsial sehingga tidak mengkhawatirkan. Dalam konteks ini, unjuk rasa mahasiswa sebagai respons terhadap ketidakalamian realitas (hukum) sangatlah dapat dipahami.
Superioritas tata bahasa atas penutur juga tercermin dalam ungkapan Even a king bow to grammar (Bahkan raja pun tund...