Jakarta -
Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Transisi Energi Berkeadilan meminta agar pemerintah tidak menurunkan target bauran energi terbarukan yang dimuat dalam draf revisi Peraturan Pemerintah No 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN).
RPP KEN tersebut seharusnya mengatur kebijakan agar dapat mencari solusi meningkatkan target transisi energi berkeadilan yang ambisius. Terutama, perlu mencantumkan target energi terbarukan hingga 60% pada 2030 dan menyetop pengembangan energi fosil baru.
Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI) Anggi Prayoga menyoroti, pemenuhan biomassa kayu (wood pellet) selama ini dilakukan melalui pembangunan Hutan Tanaman Energi (HTE) dengan menggunduli hutan di Provinsi Aceh, Jambi, Bangka Belitung, sejumlah provinsi di Kalimantan, dan Gorontalo.
FWI memproyeksikan, hutan alam seluas 4,65 juta hektare (ha) terancam proyek pembangunan HTE dan dari implementasi co-firing biomassa di PLTU. "Jika praktik ini tetap dibiarkan, maka Indonesia akan mengalami utang emisi dari hutan yang dirusak," kata Anggi dalam keterangannya, Rabu (4/9/2024).
Senada dengan Anggi, Plt. Direktur Program ICEL, Bella Nathania juga menegaskan pentingnya meninjau kembali prioritas nuklir sebagai tumpuan energi dalam RPP KEN. "Terlebih, Indonesia belum memiliki kesiapan infrastruktur khususnya untuk pengelolaan limbah nuklir. Dengan kondisi geografis Indonesia, PLTN di Pulau Bangka akan berdampak hingga ke Sumatera Utara," tambah Bella.
Pemanfaatan energi fosil berdampak serius pada beban ekonomi negara. Menurut Laporan Ambiguitas VS Ambisi: Tinjauan Kebijakan Transisi Energi Indonesia yang dikerjakan Trend Asia bersama Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), pada 2021, sekitar 33% dari 58 gigawatt (GW) pembangkit listrik yang terpasang melebihi kebutuhan energi listrik di Indonesia. Hal tersebut menyebabkan beban biaya operasional dan pemeliharaan mencapai Rp16 triliun atau US$1,2 miliar.
"Belum lagi kerugian akibat polusi dari pembangkit fosil yang jumlahnya sangat besar dan memberikan dampak langsung ke masyarakat, di lokasi pembangkit tersebut beroperasi. Riset lainnya dari CREA mengingatkan kita akan polusi yang dihasilkan 10 PLTU di Banten, yang menyebabkan biaya ekonomi sampai Rp71,3 triliun per tahun," ujar Beyrra Triasdian, Manager Energi Terbarukan Trend Asia.
(rrd/rir)