Pada Rabu, 7 Mei 2025, dunia dikejutkan oleh eskalasi militer tajam antara dua negara bersenjata nuklir di Asia Selatan, India dan Pakistan. Enam rudal yang ditembakkan India ke wilayah Kashmir yang dikuasai Pakistan telah menewaskan sedikitnya 26 orang dan melukai setidaknya 38 lainnya. Dalam respons cepat, Pakistan menembak jatuh tiga jet tempur Rafale milik India. Peristiwa ini merupakan puncak baru dari rivalitas geopolitik yang telah berlangsung selama lebih dari tujuh dekade.
India menamakan serangan tersebut sebagai bagian dari “Operasi Sindoor”, suatu tindakan yang, menurut pejabat India, dimaksudkan untuk menetralisir elemen-elemen “teroris lintas batas”. Namun, dampak dari operasi itu bukan hanya kehancuran lokal, tetapi juga membunyikan lonceng bahaya global. Saat Perdana Menteri Pakistan, Shehbaz Sharif, menyatakan tindakan India sebagai pernyataan perang. Dunia internasional memasuki fase krisis baru yang mengancam stabilitas keamanan kawasan dan global.
Dari sudut pandang teori pertahanan nasional, tindakan India dapat dipahami sebagai upaya mempertahankan integritas teritorial dan keamanan nasional melalui serangan pre-emptive. Ini merupakan praktik dari konsep deterrence by punishment, yakni menciptakan efek gentar melalui serangan yang bersifat ofensif demi mencegah ancaman lanjutan. Namun, langkah ini mengabaikan prinsip-prinsip strategi pertahanan yang menekankan pada strategic restraint dan de-escalation diplomacy.
Pakistan, dalam bingkai doktrin pertahanannya, juga bertindak sesuai dengan prinsip kedaulatan dan respons setara. Dengan menembak jatuh tiga jet Rafale, Islamabad tidak sekadar menunjukkan kemampuan pertahanannya, tetapi juga mengirim sinyal keras ke New Delhi, bahwa setiap pelanggaran terhadap wilayah kedaulatan akan ditanggapi dengan kekuatan penuh. Namun, respons militer semacam ini kerap memicu spiral eskalasi yang sulit dikendalikan.
Konflik di Kashmir bukan sekadar konflik teritorial, melainkan titik api geopolitik yang terus menyala akibat kegagalan struktural dalam menyelesaikan sengketa secara damai. Teori bina damai (peacebuilding) menegaskan pentingnya transformasi konflik, bukan hanya manajemen krisis. Sayangnya, dalam konteks India-Pakistan, belum ada komitmen jangka panjang dari kedua pihak untuk melakukan rekonsiliasi struktural melalui dialog lintas batas yang bermakna.
India dan Pakistan sama-sama negara demokrasi dengan kapasitas militer yang besar, termasuk senjata nuklir. Ketegangan militer keduanya bukan hanya membahayakan warga sipil di perbatasan, tetapi juga menciptakan ketidakpastian di pasar global, mengancam jalur perdagangan Asia Tengah, serta memperburuk krisis energi dan pangan global yang saat ini sedang rapuh. Dunia tidak bisa memandang konflik ini sebagai isu regional semata.
Bagi aktor internasional, termasuk Dewan Keamanan PBB, ASEAN, dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), situasi ini harus ditanggapi secara aktif. Pendekatan multilateral perlu didorong untuk mencegah perang terbuka. Sanksi diplomatik terhadap eskalasi militer dan insentif ekonomi bagi inisiatif perdamaian harus berjalan simultan. Bina damai modern membutuhkan intervensi strategis, bukan hanya retorika moral.
Peran pemimpin politik juga sangat menentukan. PM Narendra Modi dan PM Shehbaz Sharif harus sadar bahwa mereka tidak hanya pemimpin nasional, tapi juga aktor kunci dalam menjaga ketertiban dunia. Menghidupkan kembali jalur diplomatik bilateral seperti Dialog Komposit dan Perjanjian Lahore 1999 bisa menjadi langkah awal meredakan ketegangan.
Selain itu, komunitas masyarakat sipil, media, dan lembaga keagamaan lintas negara harus diberdayakan sebagai aktor bina damai. Mereka dapat membangun narasi-narasi damai, memperkuat kerja sama lintas batas, dan membongkar propaganda kebencian yang kerap menjadi bahan bakar konflik. Tanpa peran masyarakat sipil, upaya diplomasi hanya akan bersifat elitis dan rapuh.
Dalam aspek militer, kedua negara harus mengaktifkan kembali hotline militer dan mekanisme Confidence Building Measures (CBMs) yang telah dibekukan sejak insiden Balakot 2019. Transparansi militer dan komunikasi lintas komando penting untuk mencegah salah kalkulasi strategis yang bisa memicu perang besar.
Dari perspektif pertahanan nasional modern, kekuatan tidak semata-mata ditentukan oleh rudal dan jet tempur, tetapi juga oleh kemampuan negara mencegah perang melalui diplomasi preventif. Strategi pertahanan yang adaptif saat ini harus bersinergi dengan soft power dan ketahanan sosial-politik internal.
Serangan 7 Mei juga menguji efektivitas aliansi global. Bagaimana sikap China sebagai mitra strategis Pakistan, dan bagaimana sikap Amerika Serikat yang menjalin hubungan keamanan dengan India? Ketidakpastian ini dapat merombak ulang peta kekuatan geopolitik Asia. Eskalasi India-Pakistan bukan sekadar ancaman bilateral, tetapi bisa memicu perlombaan senjata regional.