REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Setiap peringatan Hari Kemerdekaan, bangsa Indonesia mengenang jasa para pahlawan yang telah berjuang mempertahankan merah putih. Salah satunya adalah Husein Mutahar.
Ia dikenal sebagai komponis dengan karya abadi “Syukur” dan “Hari Merdeka”. Jejak pengabdiannya bahkan jauh melampaui musik. Ia adalah pejuang kemerdekaan, diplomat, birokrat, tokoh kepanduan, sekaligus penggagas Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka).
Momen heroik Mutahar terjadi pada Agresi Militer II Belanda tahun 1948. Pada saat itu, presiden, wakil presiden, dan beberapa pejabat tinggi Indonesia ditawan oleh Belanda. Namun, ketika Gedung Agung Yogyakarta dikepung Belanda, Soekarno sempat memanggil Husein Mutahar.
Dalam pertemuan itu, Soekarno menyampaikan hal penting kepada Mutahar. Soekarno menitipkan sang saka Merah Putih yang dijahit Fatmawati kepada Mutahar meskipun nyawa harus taruhannya.
“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku. Dengan ini, aku memberikan tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apa pun, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga bendera ini dengan nyawamu,” kata Soekarno kepada Husein Mutahar dalam buku "Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat" karya Cindy Adams.
Mutahar merasa memiliki tanggung jawab yang sangat berat ketika menerima amanah tersebut. Kemudian, bendera pusaka itu dipisahkan menjadi dua. Mutahar saat itu berpikir bahwa jika bendera pusaka dipisahkan, maka tidak dapat disebut bendera lagi.
Disebutkan bahwa Husein Mutahar saat itu dibantu oleh seseorang bernama Pernadinata, untuk membuka jahitan bendera tersebut. Dengan demikian, bendera Merah Putih terlihat sebagai dua kain berwarna merah dan putih.
Kemudian, Mutahar menyelipkan kain merah dan putih itu di dua tas terpisah miliknya. Sedangkan seluruh pakaian dan kelengkapan miliknya dijejalkan di atas kain merah dan putih itu. Ia berusaha sebaik mungkin agar kain bendera itu tidak direbut pihak Belanda. Baginya, bendera itu adalah sebuah simbol negara yang harus diselamatkan dan dipertahankan.