Dunia Kaya Tapi Miskin Komitmen: Saatnya Nyalakan Kembali Api Asia-Afrika

2 months ago 9
 REUTERS/Brian SnyderPresiden AS Donald Trump memberi isyarat saat menaiki Air Force One di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, 16 Mei 2025. Foto: REUTERS/Brian Snyder
Freedom is never voluntarily given by the oppressor; it must be demanded by the oppressed.”
Kwame Nkrumah, Presiden Pertama Ghana

Beberapa waktu lalu, dunia dikejutkan dengan keputusan menghebohkan dari pemerintahan Donald Trump untuk membatalkan lebih dari 90% kontrak bantuan luar negeri USAID. Tidak sampai di situ, sebagian besar staf lembaga USAID pun diberhentikan secara mendadak. Bagi dunia, khususnya bagi banyak negara berkembang, keputusan tersebut tidak hanya menghilangkan sumber dana tapi juga bisa diartikan sebagai simbol kemunduran komitmen moral Amerika Serikat terhadap solidaritas global.

Salah satu dampak paling nyata dari pemangkasan ini terlihat pada sektor kesehatan global. Di Afrika Selatan, pemotongan bantuan AS sebesar lebih dari $430 juta melalui USAID telah menyebabkan penurunan drastis dalam layanan kesehatan, termasuk pengujian dan pemantauan pasien HIV/AIDS. Negara tersebut, yang memiliki jaringan perawatan HIV terbesar di dunia, kini menghadapi kesulitan dalam mempertahankan program-program vital. Sementara itu, di Nigeria, pemotongan bantuan mengancam upaya pengurangan kematian ibu.

Langkah AS ini membuat arah kesejahteraan dan inklusivitas global menjadi muram dan menular ke berbagai negara. Inggris yang sebelumnya aktif dalam memberikan bantuan luar negeri berencana melakukan pemotongan bantuan luar negeri dari 0.5% menjadi 0.3% dari PDB-nya, ini merupakan yang terendah semenjak tahun 1999. Dana tersebut dialihkan untuk kebutuhan pertahanan.

Negara lainnya yang juga menurunkan dana bantuan luar negerinya adalah Prancis yang mengurangi lebih dari €2 miliar dari anggaran bantuannya. Di tengah negara-negara yang mengambil sikap untuk “hidup sendiri-sendiri”, ada 3000 orang terkaya di dunia yang menguasai kekayaan lebih dari $14 triliun. Dari kekayaan mereka itu, jika 1%-nya saja disumbangkan, maka seluruh kekurangan aggaran bantuan dari lima donor bilateral terbesar bisa ditutupi.

Padahal, berdasarkan tinjauan teoritis dan empiris menunjukan bahwa bantuan luar negeri bukanlah sekadar charity, melainkan investasi strategis yang bisa memberikan manfaat resiprokal baik bagi negara pemberi donor, penerima, dan mungkin bisa juga memberikan eksternalitas positif kepada negara lainnya.

Dalam sebuah studi klasik, Burnside & Dollar (2000) menyebutkan bahwa bantuan luar negeri memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi di negara berkembang yang menerapkan kebijakan fiskal, moneter dan perdagangan yang baik. Terkait dengan hal tersebut, rasanya sekarang telah banyak negara berkembang yang memenuhi kriteria tersebut. Dalam konteks pendonor, dalam hal ini Amerika Serikat, Mendez, L. (2024) menyebutkan bahwa bantuan luar negeri yang disalurkan oleh AS mampu meningkatkan export negeri Paman Sam itu dengan rata-rata return sebesar $8 untuk setiap dolar yang mereka salurkan untuk bantuan luar negeri.

Sialnya, Donald Trump mungkin memiliki perspektif lain.

Menyalakan Kembali Api Asia-Afrika

 ANTARA FOTO/Raisan Al FarisiSambut peringatan Konferensi Asia Afrika Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

Situasi ini menjadi momen penting bagi negara berkembang untuk mendefinisikan ulang peran mereka dalam lanskap solidaritas global. Tidak lagi sekadar sebagai penerima, tetapi juga sebagai mitra dan bahkan pendonor. Indonesia, sebagai salah satu kekuatan ekonomi menengah terbesar di dunia, memiliki peluang dan tanggung jawab untuk mengambil peran yang lebih aktif dan strategis.

Sejak diluncurkan pada 2019, Lembaga Dana Kerja Sama Pembangunan Internasional (Indonesian AID) telah menjadi cerminan baru wajah diplomasi Indonesia. Namun skala dan efektivitasnya perlu untuk terus dioptimalisasi.

Dalam Laporan Kementerian Keuangan 2024, alokasi dana bantuan luar negeri Indonesia masih berada di bawah 0,01% dari PDB, jauh dibandingkan target global 0,7% yang dicanangkan OECD. Meski kecil, inisiatif ini perlu diperkuat baik dari sisi pendanaan, kelembagaan, maupun fokus programnya. Tidak hanya monetary assistance, sesungguhnya Indonesia bisa memanfaatkan pendekatan bantuan berbasis kepakaran (technical assistance) dan berbagi pengalaman pembangunan, misalnya dalam pengelolaan bencana, pendidikan vokasi, dan pelibatan UMKM.

Program-program ini dapat diarahkan ke kawasan Pasifik, Asia Selatan, dan Afrika Timur—daerah yang secara geopolitik maupun historis memiliki koneksi dengan Indonesia. Dengan memperluas skema bantuan teknis, Indonesia tidak hanya menunjukkan kepedulian, tapi juga memperkuat jejaring diplomasi dan ekonomi. Terlebih jika ke depannya melihat Afrika yang digadang-gadang menjadi the world’s next economic powerhouse.

Lebih jauh, kolaborasi Selatan-Selatan (South-South Cooperation) bisa menjadi kerangka kerja utama. Menurut UNOSSC, banyak negara berkembang kini terlibat dalam ratusan proyek kerja sama Selatan-Selatan yang melibatkan inovasi sosial, teknologi murah, dan transfer keahlian. Indonesia harus menempatkan diri di garda depan kolaborasi ini, bukan hanya sebagai peserta, tapi sebagai penggagas. Dalam jangka panjang, investasi dalam solidaritas global akan memperkuat posisi tawar Indonesia di forum multilateral seperti G20, ASEAN, dan PBB. Ini juga akan menjadi fondasi diplomasi yang berlandaskan nilai—bukan sekadar kepentingan.

Berbicara tentang South-South Cooperation tidak bisa lepas dari semangat besar Konferensi Asia-Afrika tahun 1955—momen bersejarah yang bukan sekadar pertemuan diplomatik, tapi curahan kesadaran kolektif negara-negara berkembang untuk bersatu dan bangkit melawan penjajahan, ketidakadilan, dan dominasi kekuatan besar. Jejak sejarah itu bukan hanya menjadi catatan masa lalu, tapi nyala api yang terus ada dan bisa kembali kita nyalakan, menginspirasi seluruh bangsa untuk berani mengambil peran dalam mengukir masa depan yang lebih adil dan berdaulat.

Semangat itu harus diwujudkan lewat langkah-langkah konkret, seperti memperkuat pertukaran teknologi tepat guna yang ramah lingkungan, memperdalam kerja sama di bidang pendidikan dan pelatihan keahlian yang relevan dengan kebutuhan pembangunan nasional, serta meningkatkan sinergi dalam menghadapi tantangan bersama seperti perubahan iklim, kesehatan publik, dan ketahanan pangan.

Indonesia, misalnya, dapat memimpin inisiatif pengembangan pendidikan vokasi di negara-negara Pasifik dan Afrika Timur, sekaligus berbagi pengalaman sukses pengelolaan bencana dan pemberdayaan UMKM yang inklusif. Melalui pendekatan yang saling menguntungkan dan berbasis kapasitas lokal ini, kerja sama Selatan-Selatan tidak hanya menjadi simbol solidaritas, tetapi juga mesin penggerak nyata yang membangun kemandirian dan kesejahteraan bersama.

Read Entire Article